Penanganan Sampah Plastik dan Spirit Saling Mendukung

Oleh: Agustinus Apollonaris KD, Ketua Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS)

Hari Senin 5 Juni dunia memperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia saat Majelis Umum PBB pada tahun 1972 menggelar Konferensi di Stockholm, Swedia.   

Program Lingkungan PBB (UNEP) telah mengumumkan Pantai Gading, Afrika Barat sebagai tuan rumah Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023. Temanya, Solusi untuk Polusi Plastik (Solutions to Plastic Pollution) dengan mengusung kampanye #beatplasticpollution.  

Polusi plastik adalah ancaman nyata dan berdampak pada setiap komunitas di seluruh dunia. UNEP memproyeksikan tahun 2040 terdapat 29 juta ton plastik masuk ke ekosistem perairan. Itu artinya saat ini sudah ribuan bahkan ratusan ribu ton plastik masuk perairan. Bom waktu menanti. Kerusakan ekosistem darat, laut dan udara termasuk merusak kesehatan manusia.

Apa yang mesti dilakukan? Tak cukup hanya himbauan, narasi, dan regulasi. Perlu aksi nyata dan perlu kemauan politik yang kuat memberi reward dan punishment bagi pemangku kepentingan yang bersinggungan langsung dengan sampah,  khususnya sampah plastik. Namun di atas segalanya penyelesaian masalah sampah di Indonesia khususnya di Pulau Bali sebagai destinasi wisata masih jauh dari sempurna.

Untuk itu perlu dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dengan spirit saling mendukung bukan saling menyalahkan, saling mengingatkan bukan saling menyudutkan.  Dan juga bukan dengan saling membunuh karakter antara produsen yang satu dengan yang lain memakai tangan tangan tak kelihatan (invisible hand).

Bencana sampah telah menjadi hantu yang menakutkan dunia. Bagaimana tidak, di Indonesia pada tanggal 21 Pebruari 2005, 157 nyawa terkubur dalam reruntuhan sampah akibat ambruknya TPA Leuwigajah, Ciamis Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Longsor sampah ini akibat curah hujan tinggi dan ledakan gas metana. Itulah kemudian pemerintah menetapkan tanggal 25 Pebruari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

BACA JUGA:  Pelaksanaan Event Berperan Penting untuk Pulihkan Ekonomi Bali

18 Tahun sudah tragedi itu berlalu, namun tetap membekas. Dan tragedi ini merupakan bencana sampah terbesar kedua di dunia yang pernah terjadi dari pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebelumnya bencana serupa juga terjadi di TPA Payatas, Quezon City, Filipina.  Longsoran sampah juga mengubur lebih dari 200 orang. Angka itu belum termasuk ratusan orang yang hilang dalam bencana tersebut. Inilah rekor korban tertinggi di dunia.

Belajar dari tragedi ini,  maka lahirlah UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.  UU 18/2008 mengamanatkan kepada kita semua mengelolah sampah yang kita hasilkan.  Upaya penanganan dan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh komponen masyarakat; pemerintah, produsen, akademisi, aktivis, komunitas, asosiasi professional, pelaku daur ulang, pemulung, pengepul.  Namun faktanya kita masih setengah hati mengelolah dan mengolah sampah kita.

Di Indonesia tahun 2020 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang saat ini bersalin baju menjadi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), melakukan penelitian di 18 kota utama di Indonesia. Mereka menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut. Sampah plastik dan styrofoam banyak ditemukan  masuk ke laut dan sungai

Di sepanjang pantai di Bali khususnya di kawasan pantai Kuta, Legian, Seminyak, Jimbaran, Ungasan dan Nusa Dua ketika musim barat tiba (Oktober – Maret) muncul sampah kiriman yang berserakan di sepanjang bibir pantai. Sepanjang tepi pantai berserakan sampah yang didominasi sampah plastik dan kayu.
Di antara tumpukan sampah, ditemukan beberapa botol kemasan plastik dari berbagai merek. Komposisi sampah plastik lebih dari 80%. Jenis plastik yang ditemukan tipe PP, LDPE, PET, HDPE. 

BACA JUGA:  Bali Raih Penghargaan The Best Island

Selain UU No 18 Tahun 2008,  regulasi lain yang mengatur tentang sampah yakni Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, Permen 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. 

Sementara di Bali regulasi yang mengatur tentang sampah sudah diatur jelas : Perda No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, Pergub No 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pergub 47 Tahun 2019  tentang Pengelolaan  Sampah Berbasis Sumber  dan SK Gubernur  Bali No 381/03-P/HK/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Desa/Kelurahan dan Desa  Adat.  

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029. Selain itu, dalam rangka pendaur ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi penarikan kembali sampah yang disertai penyediaan fasilitas penampungan.  

Produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memiliki kewajiban melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah.   

BACA JUGA:  Kemeriahan Holly Festival di Lapangan Puputan Badung

Sesungguhnya produsen sesuai amanat UU 18 Tahun 2008 punya tanggung jawab yang diperluas yakni Extended Producers Responsibility (EPR). Tanggung jawab ini melampui tanggung jawab CSR (corporate social responsibility). EPR merupakan kebijakan di mana produsen wajib bertanggung jawab terhadap produk yang dibuat atau dijual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk menjadi sampah. Dengan kata lain, produsen menanggung biaya mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup.

Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen ini disusun untuk waktu 10 tahun ke depan, dengan target pengurangan sampah barang dan kemasan barang serta wadah, terutama berbahan plastik sekali pakai, sebesar 30 % dari jumlah produk dan/atau kemasan produk yang dihasilkan yang dipasarkan.  

Selain itu, Permen LHK tersebut juga menargetkan tidak digunakannya lagi secara nasional beberapa jenis plastik sekali pakai buang pada 1 Januari 2030. Permen LHK No. P.75/2019 tersebut merupakan “Cara Indonesia” (Indonesian Way) dalam mengatasi persoalan sampah plastik yang menjadi persoalan global saat ini.  

Namun saat ini masih banyak produsen belum menjalankan road map tersebut. Dari ribuan produsen di tanah air, sampai dengan tahun 2022, baru 25 produsen yang menunjukan keseriusan mengirimkan dokumen perencanaan pelaksanaan Peta Jalan Pengurangan Sampah 2020-2029 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini meyedihkan! Sekaligus jadi jalan terjal bagi produsen mengelolah bekas sampah plastik kemasan mereka. **