DENPASAR-MENITINI.COM – Belum genap dua tahun menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Dr Ketut Sumedana membuat publik tercengang dengan sejumlah gebrakan inovatifnya dalam penegakan hukum. Tegas dan adaptif merupakan konsep yang diemban Ketut Sumedana dalam menjaga krama Pulau Dewata.
Satu diantara sejumlah inovatif tersebut yakni Rumah Restorative Justice Bale Kertha Adhyaksa. Program penanganan hukum di level desa adat menjadi konsern Ketut Sumedana. Kini Bale restoratif telah berdiri di semua desa beberapa daerah seperti di Bangli, Tabanan, Badung dan Buleleng.
Ketut Sumedana tak ingin semua konflik diselesaikan di tataran pengadilan dan kejaksaan. Ia ingin persoalan hukum di Indonesia khususnya di tanah kelahirannya di Bali bisa terselesaikan di tingkat desa guna menekan kerugian material, resistensi hukum dan sosial serta efisiensi sesuai konsep pemerintah pusat.
Inilah ketegasan yang humanis dan inovatif yang telah dilakukan Sumeda di tengah era modern dengan tetap melestarikan adat, tradisi, budaya, agama dan kearifan lokal Bali. Dalam setiap kesempatan, Dr Ketut Sumedana kerap menyoroti Bendesa Adat agara berkomitmen menjaga Bali dengan fleksibilitas dan adaptif dengan perkembangan zaman.
“Menjaga Bali dengan segala kemudahan, kecepatan berbagai upacara dan upakara yang hampir setiap hari dilaksanakan oleh orang Bali.
Upacara yang mestinya dilaksanakan secara sederhana tanpa mengurangi makna harus betul-betul dilaksanakan dengan hati, karena bakti itu didasari oleh ketulusan, pengabdian dan pengorbanan. Juga didasari atas kesadaran yang tulus sesuai dengan kemampuan kita,” jelas Ketut Sumedana.
Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung mengatakan
konsep Yadnya (persembahan suci tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi Wasa) tidak memberatkan dan tidak membuat orang sampai berhutang.
“Ini yang menjadi perhatian kita bersama. Ayo kita rumuskan bersama untuk membuat mudah, murah dan tidak ada paksaan, betul-betul lahir dari Budaya yang adi luhung,” katanya.
Jaga Tanah dan Krama Bali, Jangan Sampai Tersisa Pura dan Dewanya Saja
Ketut Sumedana tak ingin laba pura di Bali hilang dan berubah menjadi cor beton dan fasilitas lainnya. Ia ingin tanah Bali sebagai marwah dan jiwa leluhur krama Bali tetap terjaga. Jangan berpindah tangan dan berubah wujud menjadi fasilitas lain yang bukan untuk pelestarian budaya dan tradisi.
Ia tak ingin suatu saat terjadi pura di Bali berdiri hanya dihuni para dewanya saja tanpa ada krama Bali. Karena dirinya melihat praktek banyak Pura di Bali yang menghabiskan milyaran rupiah untuk Yadnya sampai menjual laba pura.
“Lama-lama Pura dikelilingi villa, hotel dan menjadi milik investor. Sedihnya lagi pengemponnya terpinggirkan dan tinggal jauh, akhirnya yang tersisa hanya Pura dan Dewa-Nya saja, masyarakat tidak ada” tegasnya.
Untuk itu, Ketut Sumedana mengatakan laba pura harus tetap dijaga oleh krama Bali. Harus diatur dan diproteksi dengan awig-awig (peraturan desa adat).
“Tanah Bali yang mempunyai marwah dan jiwa leluhur jangan sampai berpindah tangan, harus ada awig-awig yang mengatur kalaupun disewa harus ada batasan waktunya supaya generasi kita tahu peruntukan Laba Pura tersebut,” katanya.
Kajati Bali dibawah kepemimpin Ketut Sumedana akan menyoroti hal ini secara serius. Untuk itulah, bale restorative justice membantu warga di tingkat desa adat termasuk dalam melindungi laba pura.
Baginya, di setiap desa pasti ada konflik, pertentangan, dan permasalahan. Konflik ini tidak semua harus berujung penyelesaiannya ke pengadilan. Bisa diselesaikan di Bale Sabha Adhyaksa. Untuk itu, bendesa, tokoh masyarakat, tokoh agama akan berperan penting menyelesaikan masalah di tingkat desa. *
- Editor: Daton