DENPASAR,MENITINI.COM-Mejelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar menjatuhkan vonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp200 juta kepada Bendesa Adat Berawa, Kuta Utara, Badung, Bali, I Ketut Riana, dalam perkara tindak pidana pemerasan dalam pengurusan izin investor, Kamis (3/10/2024).
Vonis tersebut lebih ringan 2 tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu 6 tahun penjara. Untuk tuntutan uang pengganti Rp 50 juta subsider 3 tahun ditiadakan, karena menurut majelis hakim dalam perkara ini tidak terdapat kerugian negara.
Tetapi, uang tunai sejumlah Rp 100 juta yang diberikan saksi Andianto kepada terdakwa harus dikembalikan. Namun atas putusan itu, penasihat hukum terdakwa, Gede Pasek Suardika dan tim, menyatakan pikir-pikir dan akan mempertimbangkan untuk mengajukan banding.
“Menyatakan terdakwa I Ketut Riana, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut. Menjatuhkan pidana pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” tegas Majelis Hakim Pimpinan Gede Putra Astawa, dalam persidangan.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan terdakwa dinilai terbukti melanggar ketentuan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Hakim menyatakan unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan tunggal tersebut terbukti. Mulai dari, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara. I Ketut Riana yang menjabat sebagai Bendesa Adat, disebut menerima insentif dari APBD Kabupaten Badung dan Pemerintah Provinsi Bali setiap bulannya. Selain itu, unsur secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, serta unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain juga terpenuhi.
Majelis Hakim juga menilai unsur memaksa seseorang memberikan sesuatu telah terbukti. “Majelis Hakim tidak sependapat dengan pledoi Penasihat Hukum terdakwa yang menyebut perkara ini adalah suap, sebab menurut hakim ada bukti permintaan dengan unsur pemaksaan yang dilakukan terdakwa melalui percakapan WhatsApp,” tambahnya.
Unsur perbuatan yang berlanjut juga dinyatakan terbukti, mengingat permintaan uang itu disampaikan secara berulang-ulang oleh I Ketut Riana kepada saksi Adianto Nahak T Moruk. Adianto sendiri ditugaskan oleh PT Berawa Bali Utama untuk mengurus izin yang diperlukan dalam pembangunan di kawasan Berawa. Terdakwa disebut terus menekan saksi untuk menyerahkan uang tersebut guna memperlancar proses perizinan yang dibutuhkan oleh investor.
Hal yang memberatkan, antara lain, tindakan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang gencar melakukan pemberantasan terhadap segala bentuk tindak pidana korupsi. Sedangkan hal-hal yang meringankan antara lain, terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan.
Ditemui usai sidang, terdakwa mengaku kebingungannya atas keputusan Majelis Hakim yang menganggapnya sebagai pegawai negeri.
“Saya selaku bendesa adat bingung dengan keputusan hakim, karena saya tidak pegawai negeri dan tidak merugikan negara, tapi hukumannya seperti ini. Kalau saya pegawai negeri harus mendapatkan NIP, SK, tunjangan, dan sebagainya. Bendesa adat itu kan ngayah, dalam ngayah itu tidak ada batas waktu, sementara pegawai negeri ada waktu kerja. Jadi saya bingung,” ujarnya.
Gede Pasek Suardika, juga mengomentari putusan tersebut dan tidak sependapat dengan keputusan hakim. “Pertama, kita hormati ya setiap putusan dari Yang Mulia, tetapi memang ada kontradiktif di sini. Kalau lihat Pasal 12 itu memang minimalnya 4 tahun, jadi itu hukuman paling bawah di antara ancaman pasal.
Tetapi kalau kita lihat fakta sidangnya, sebenarnyakan sudah jelas, yang membuat perda saja mengatakan bendesa tidak menerima gaji, kemudian yang membuat perda ini dikalahkan dengan tafsir yang ada di luar tafsir umum,” jelas Suardika.
“Ketika disebut status pegawai negeri, saksi ahli juga menyebutkan selain ada imbalan, harus ada urusan pekerjaan, SK, atau keputusan dari lembaga pemerintahan yang ada di atasnya. MDA ini kan bukan lembaga pemerintahan, jadi kalau pengukuhan dari MDA ditafsirkan sebagai keputusan yang beschikking, ya konyol. Gara-gara ada MDA, kemudian bendesa adat menjadi pegawai negeri dan ke depan bisa menjadi obyek untuk tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Pasek juga memperingatkan bahwa keputusan ini berpotensi merugikan banyak pihak. “Kalau begini, yang hari ini berstatus pegawai negeri dan juga menjadi prajuru adat bisa dianggap melanggar hukum. Bahkan, TNI, Polri, ASN, pokoknya semua yang bersangkutan. Padahal mereka tidak dilarang menjadi prajuru adat,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti adanya faktor eksternal yang menurutnya berpengaruh dalam kasus ini. “Tapi sudah lah, karena di belakang kasus ini ada investor besar dari Rusia yang saya lihat ternyata juga melakukan investasi di IKN. Ini memang yang dilawan tidak main-main lo. Tapi yang namanya orang asing lebih berkuasa di Bali dan kalah bendesa adat ini, kan menjadi catatan kita juga,” ungkapnya.
- Editor: Daton