GIANYAR,MENITINI.COM-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali resmi meluncurkan program Bale Kertha Adhyaksa serentak di 70 desa/kelurahan dan 273 desa adat/LPD se-Kabupaten Gianyar, Rabu (21/5/2025). Peresmian dilakukan secara simbolis di Gedung Balai Budaya Gianyar dan dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Gubernur Bali Wayan Koster, Wakil Gubernur Nyoman Giri Prasta, serta Bupati dan Wakil Bupati Gianyar, Made Mahayastra dan Anak Agung Gde Mayun.
Program ini digagas sebagai solusi alternatif penyelesaian konflik di desa adat melalui pendekatan Restorative Justice atau keadilan restoratif, yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat dibanding jalur hukum formal.
Kepala Kejati Bali, Dr. Ketut Sumedana, SH, MH, menjelaskan bahwa Bale Kertha Adhyaksa akan menjadi ruang pendampingan hukum bagi masyarakat desa dan desa adat, termasuk para aparatur desa seperti kepala desa, bendesa adat, dan lurah. Ia menegaskan bahwa banyak persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan secara damai tanpa harus berujung di pengadilan.
“Bale Kertha Adhyaksa ini bukan hanya tempat penyelesaian masalah, tapi juga ruang edukasi hukum yang mendorong kedamaian di tingkat akar rumput,” ujar Sumedana.
Ia menambahkan, Kabupaten Gianyar dipilih karena dianggap memiliki kekuatan seni dan budaya yang luar biasa. “Kalau seni dan budaya ini hilang, maka pariwisata Bali pun akan kehilangan daya tariknya,” tegasnya.
Sumedana menyebut, hadirnya Bale Kertha Adhyaksa tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. Bahkan, KUHP yang baru mengakui eksistensi hukum adat. Jika suatu perkara sudah diselesaikan secara adat, maka tidak perlu lagi dibawa ke pengadilan umum.
“Ini adalah kolaborasi antara living law dan positive law. Kita tidak menghilangkan hukum nasional, tapi kita kuatkan hukum adat agar tetap relevan dan dihormati,” jelasnya.
Terkait praktik adat seperti kanorayang atau kesepekang, Kejati Bali membuka ruang evaluasi. Ia bahkan mengisyaratkan akan mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) yang bisa menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam konteks hukum adat.
Menuju Bali yang Lebih Istimewa
Kejaksaan Tinggi Bali menargetkan peresmian serupa di Klungkung, Denpasar, Jembrana, dan Karangasem dalam waktu dekat. Setelah semua wilayah terjangkau, rencananya akan disusun Perda yang memperkuat pelaksanaan program ini.
Dalam jangka pendek, Kejati Bali akan menugaskan Kejari di masing-masing kabupaten/kota untuk bertindak sebagai pendamping dan fasilitator hukum di desa-desa. Program ini melengkapi inisiatif yang sudah ada, seperti Jaksa Garda Desa atau Jaga Desa.
Sumedana juga berharap pemerintah daerah ikut terlibat dalam pembiayaan, karena Kejati sendiri tidak menyediakan anggaran operasional. Ia mendorong agar dana dari pungutan wisatawan asing ke depan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan adat, budaya, hingga keagamaan.
“Tanpa keterlibatan semua pihak — bendesa adat, kepala desa, bupati, hingga gubernur — Bali bisa kehilangan jati dirinya. Mari kita jaga bersama agar Bali tetap ajeg dan bahkan menjadi lebih istimewa di masa depan,” pungkasnya.*
- Editor: Daton