Sosialisasi RUU KUHP,  Wamenkumham: Sambil Menyelam Minum Air

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM), gencar menggelar sosialisasi dan dialog publik secara masif terkait isi rancangan undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP). Dialog publik ini dilakukan secara terbuka dan terbatas.

“Oleh karena itu, saya boleh mengistilahkan dialog publik ini terbuka, tapi terbatas,” kata Wakil Menteri Hukum & HAM, Edward Omar Sharif H. dalam diskusi daring bertema “RUU KUHP: Wujud Keadilan Hukum Indonesia” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) Senin (29/8).

Edward menjelaskan, dalam melakukan sosialisasi, pihaknya ibarat pepatah “menyelam sambil minum air”. Artinya, selain melakukan sosialisasi pihaknya juga terus mengali masukan dari masyarakat. “Saya kira ini berjalan secara paralel, sembari pemerintah melakukan dialog publik dan sosialisasi, DPR juga melalui jalur formal sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), paling tidak dengan dua elemen masyarakat.  Yang pertama adalah Dewan Pers dan Ikatan Dokter Indonesia,” ujarnya.

Namun, Edward menggarisbawahi, dialog publik dilakukan secara terbuka dan terbatas. Terbuka artinya menerima masukan dari manapun. Sementara terbatas, sebab pihaknya lebih fokus pada 14 isu krusial.

BACA JUGA:  DPR dan Perangkat Desa Sepakat Hormati Proses Revisi UU Desa

Pentingnya Keberadaan Agama

Sementara itu, Wakil Ketua LPBH PBNU, Abu Rokhmad menyampaikan apresiasi terhadap keberadaan pasal penodaan agama. Menurutnya, keberadaan pasal tersebut menandakan bahwa para perumus undang-undang ini masih menganggap penting keberadaan agama, umat dan simbol-simbolnya.

“Oleh karena itu, kalau di dalam rancangan undang-undang KUHP pidana itu masih dicantumkan pasal penodaan agama, itu berarti pembuat undang-undang masih menganggap penting agama itu sendiri, lalu umat agamanya, kemudian simbol-simbolnya,” katanya.

Abu mengatakan, negara perlu melindungi pemeluk agama, termasuk para pengikut aliran kepercayaan melalui undang-undang. Tujuannya adalah semata-mata untuk menjaga kebersamaan, kemaslahatan.

“Sebab kalau ini (pasal penodaan agama-red) dibiarkan begitu saja, saya kira kita hanya akan mengulang ulang saja, mengulang sejarah masa lalu. Kita sudah berkali-kali ada kejadian semacam itu,”

Abu lantas menyampaikan catatan kritis terhadap implementasi dan penerapan pasal penodaan agama ini. Menurutnya, yang perlu diperhatikan adalah unsur-unsur penodaan agamanya. Apalagi jika pasal penodaan agama ini dipadukan dengan pasal UU ITE.

BACA JUGA:  Kemendikbud Harus Proaktif Usut Kasus Ferienjob Jerman

“Supaya tidak menjadi pasal karet, betul-betul harus memenuhi unsur-unsur pidananya itu harus betul-betul bisa kita ketahui bersama. Lalu kemudian aparat penegak hukumnya juga di dalam mengimplementasikannya itu juga harus berhati-hati, sungguh-sungguh cermat karena ini menyangkut agama. Apalagi kalau dipadukan dengan UU ITE,” tegasnya.

14 Pasal Kontroversial

Pada Forum yang sama, Akademisi Hukum Pidana Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda mengatakan sejauh pengamatannya, publik telah mendapatkan penjelasan terkait 14 isu krusial yang tercantung dalam RUU KUHP ini. Sehingga, sejuah ini, “Terkait 14 isu krusial itu, sebetulnya publik sudah mendapat penjelasan dari Tim RUU KUHP. Intinya dari masyarakat, saya lihat tidak begitu banyak yang kemudian bertanya-tanya lagi terhadap 14 sosial tersebut,” paparnya.

Pada dasarnya, kata I Gede, dari sosialisasi yang sudah dan akan dilakukan oleh pemerintah terhadap keseluruhan RUU KUHP dan secara khusus 14 isu krusial, ada dua yang sudah diakomodir oleh tim perumus. Pertama adalah penghapusan pasal advokat curang dan kedua adalah terkait praktek dokter tanpa izin. 

BACA JUGA:  KPU Ungkap Terdapat 1.972 Surat Suara di Malaysia Sudah Dicoblos

“Hal ini sebagai bentuk apresiasi tim dan sebagai bentuk dari bagaimana tim mendengar masukan dari semua pihak dan kalangan. Sehingga pasal yang mengatur advokat curang itu kemudian dihapuskan, termasuk juga pasal mengenai praktek dokter yang tidak ada izin, itu juga sudah dihapuskan oleh tim perumus,” ungkapnya.

“Pada prinsipnya, kalau saya melihat pertanyaan publik seputar 14 isu krusial itu, hanya sekedar mungkin ada yang belum baca atau mungkin lebih jauh.

Sehingga sosialisasi ke depan menurut saya, sangat baik untuk dijadikan sebagai ajang untuk memahami bagaimana sebetulnya isi dari RUU KUHP sendiri.  “Kegelisahan publik terkait 14 isu krusial itu, tidak lebih dari sekedar ketidaktahuan saja,” tandasnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah menyerahkan draf RUU KUHP kepada DPR pada 6 Juli 2022 lalu untuk dilakukan pembahasan lebih mendalam sebelum kemudian disahkan. Edward menyampaikan, ada 37 bab dan 632 pasal dalam RUU KUHP ini. (M-003)