Uskup Larantuka juga meminta agar paroki-paroki yang sudah memiliki tradisi ini agar ditiadakan. “Tidak diadakan prosesi Jumat Agung, prosesi Aleluya di Larantuka, Konga dan Wureh,” tulis Uskup Frans dalam suratnya.
Sementara prosesi Semana Santa Larantuka itu bisa menciptakan kerumunan dan sulit dikendalikan oleh petugas. SE ini sudah dikirim ke seluruh imam, biarawan-biarawati, pastor paroki se-Keuskupan Larantuka, DPRD Kabupaten Flores Timur dan Lembata, Bupati Flores Timur dan Lembata, pihak keamanan TNI dan Polri di kedua kabupaten, serta Dinas Kesehatan setempat. “Keputusan peniadaan prosesi Semana Santa sudah dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan teliti. Jadi kalau ada pemberitaan bahwa bahwa peziarah dan wisatawan luar kota yang datang ke Larantuka untuk mengikuti prosesi maka kami jelaskan bahwa informasi ini sudah beredar luas. Kami tidak bertanggung jawab kalau ada umat Katolik yang ke Larantuka untuk ikut prosesi Semana Santa,” kata Romo Tobias Tukan salah seorang pastor Keuskupan Larantuka saat dikonfirmasi media ini.
Salah satu tokoh umat Larantuka Sil Witin mengatakan, terjadi kesalahpahaman soal devosi dan prosesi Semana Santa. Seharusnya umat Katolik cek kebenaran soal ini. Sebab, sekalipun prosesi tidak dilakukan, namun devosi tetap dilakukan.
“Yang benar itu memang tidak prosesi perarakan Patung Tuan Ma. Namun devosi dalam Kapela tetap dilakukan. Buktinya mulai kemarin, banyak umat berdoa, berdevosi dalam ruangan atau dalam Kapela. Ini tidak dilarang. Tentu saja dengan Prokes yang ketat, masker, jaga jarak. Sampai saat ini masih banyak yang berdoa disana,” ujarnya.