DENPASAR,MENITINI.COM-Setiap fasilitas kesehatan (faskes) yang menghasilkan limbah berbahaya atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), wajib mengelola limbah yang dihasilkan. Namun apabila tidak mampu melakukannya sendiri, maka harus diserahkan kepada pihak lain yang memiliki izin yang sesuai dengan ketentuan.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem, Bali I Nengah Widiasari, SKM, M.Kes dalam seminar yang digelar oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Cabang Kabupaten Karangasem yang bertema ‘Manajemen Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas Kesehatan’, pada Minggu (25/6/2023).
“Limbah pelayanan kesehatan itu kasusnya sangat spesifik, sehingga diperlukan upaya khusus dalam penanggulangannya. Limbah medis yang bersifat infeksius yang tidak dikelola dengan benar dapat berdampak pada pencemaran lingkungan, dan masyarakat di sekitar,” ujar Nengah dalam menyampaikan paparannya.
Lebih lanjut ia juga mengatakan ketentuan pengelolaan limbah B3 tersebut telah diatur dalam beberapa regulasi, diantaranya adalah Undang Undang (UU) No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No 66 tahun 2014 tentang kesehatan Lingkungan, dan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2021 tentang pemeliharaan perlindungan lingkungan hidup.
Yang perlu diperhatikan, kata dia adalah terdapat ketentuan pidana yang mengatur dalam UU No. 32 tersebut. “Pada pasal 59 ayat 1 berbunyi dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit satu miliar dan paling banyak 3 miliar. Jadi pengelolaan lingkungan itu tidak bisa dianggap sepele,” ujarnya, sambil mengatakan bahwa yang disampaikannya bukan menakut-nakuti, tetapi karena semua itu diatur dalam UU. “Jadi menjadi konsen kita bersama bagaimana agar tidak main-main dalam masalah lingkungan terkait dengan limbah berbahaya,” sambungnya.
Jenis-jenis limbah medis menurut dia digolongkan menjadi beberapa, yang penanganannya mengacu pada peraturan penanganan limbah B3.
Yang pertama dalah limbah infeksius. Limbah ini mengandung limbah buangan yang mengandung darah atau cairan tubuh manusia yang biasanya dari proses medis seperti tindakan operasi di rumah sakit. Tindakan pengambilan sampel darah juga termasuk di dalamnya. “Limbah ini juga bisa berasal dari bahan untuk sekali pakai yang digunakan untuk menyerap darah atau cairan tubuh, seperti kain kassa, kapas, perban yang sudah dipakai. Mikro organisme pantogen, bahan-bahan itu kemungkinan bisa menularkan kepada orang lain. Contohnya misalnya handscoon, masker yang sudah digunakan untuk melayani pasien pasti sudah terpapar. Jadi sudah termasuk limbah yang infeksius,” jelasnya.
Yang kedua adalah limbah Pantologis, yaitu limbah yang berupa jaringan atau bagian dari tubuh manusia. Misalnya potongan kaki, tangan dari operasi. kemungkinan didalamnya sudah ada bibit penyakit.
Lalu limbah benda tajam, limbah ini katanya berasal dari prosedur perawatan, seperti jarum suntik, pisau bedah sekali pakai, silet, dan jarum infus. Limbah kimia, berasal dari cairan yang habis digunakan untuk tes laboratorium dan sisa cairan disinfektan. Biasanya hasil dari aktifitas Laboratorium. Golongan limbah berbahaya lainnya adalah limbah Farmasi, yaitu obat yang sudah kadaluarsa ataupun yang sudah tidak layak konsumsi karena adanya kontaminasi, sudah expired atau sisa dari pasien karena tidak habis dikonsumsi. Vaksin yang sudah tidak terpakai juga masuk dalam kategory limbh farmasi.
Limbah situtus toksit merupakan limbah buangan atau sisa dari bahan-bahan beracun yang sifatnya berbahaya. Limbah ini kata dia bisa memicu kanker. Kemudian limbah domestik yang mengadung medis, seperti makan pasein atau bungkus alat medis.
Lalu bagaimana prosedur pengelolaan limbah-limbah berbahaya tersebut? Dalam penjelasannya ia menyebut terdapat dua pengelolaan limbah medis, yaitu yang dilaksanakan oleh faskes dan pengelolaan yang diserahkan kepada pihak lain dalam hal ini pihak ketiga.
“Jadi alurnya sesuai dengan ketentuan, dari faskes atau unit-unit penghasil limbah contohnya rumah sakit disalurkan ke tempat penyimpanan sementara atau TPS,” ujarnya. Rumah sakit dan puskesmas wajib mempunyai tempat penyimpanan sementara (TPS) Limbah untuk B3 yang sudah mendapat ijin dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota. (M-011)
- Editor: Daton