Selasa, 14 Mei, 2024
Ilustrasi kekurangan gizi. (Net)

Ilustrasi kekurangan gizi. (Net)

JAKARTA,MENITINI.COM-Sebanyak 21 juta warga Indonesia kekurangan gizi dan 21,6 persen anak mengalami kekurangan gizi. Hal tersebut diungkapkan oleh Head of Agriculture Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dalam keterangan resmi, seperti yang dilansir CNNIndonesia.com, Minggu (9/7/2023).

“Sekitar 21 juta orang atau 7 persen dari populasi kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kementerian Kesehatan sebesar 2.100 kkal,” Aditya Alta.

Pada tahun lalu, terdapat 21,6 persen anak Indonesia berusia di bawah lima tahun mengalami stunting dengan rasio tinggi berbanding usia yang rendah. Sedangkan 7,7 persen lainnya menderita wasting, rendah rasio berat badan berbanding tinggi badan.

BACA JUGA:  RSU Bhakti Rahayu Denpasar Gelar Sosialisasi Kesehatan di HIMPAMA Bali

Aditya Alta menyayangkan ketersediaan dan akses pangan belum memadai ke berbagai penjuru negeri. Hal ini amat berdampak untuk masyarakat berpenghasilan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya hanya untuk keperluan makan.

Indeks Ketahanan Pangan Global 2022 menempatkan Indonesia di urutan 84 untuk ketersediaan pangan dan 44 untuk keterjangkauan dari total 113 negara. Capaian ini lebih rendah dari negara tetangga, seperti Thailand di urutan 77 dan 39, Vietnam 49 dan 38, dan Malaysia 56 dan 30. “Di masa depan, permintaan pangan di wilayah termiskin tersebut diperkirakan masih berada di bawah standar asupan kalori harian untuk sumber karbohidrat, seperti beras, jagung, dan tepung gandum,” ramalnya.

BACA JUGA:  Kasus DBD di Buleleng Meningkat

Di lain sisi, Aditya menyoroti pembatasan impor beras dan jagung meski Indonesia dihantui kekurangan pasokan. Menurutnya, ini makin memperparah ketahanan pangan dalam negeri.

Ia merinci jumlah permintaan jagung yang terus meningkat tiap tahunnya sebesar 16.280 ton. Begitu pula permintaan tepung terigu serta kedelai yang masing-masing meroket 26.079 ton dan 144,02 ton per tahun.

“Hambatan ini membuat proses impor beras untuk pemenuhan ketahanan pangan maupun cadangan pangan menjadi lambat. Tidak jarang beras impor justru datang di saat panen raya dan harga beras domestik jatuh,” kritik Aditya. “Demikian pula dengan impor jagung untuk pakan yang hanya bisa dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kondisi ini merugikan peternak kecil yang harus bersaing dengan perusahaan besar dalam memperoleh jagung pakan dari pasar domestik,” tandasnya. (M-011)

  • Editor: Daton
BACA JUGA:  Istimewanya Kurma, si Primadona Berbuka Puasa
Temukan dan ikuti Berita-berita Menitini di Google Berita

Berita Lainnya:

About The Author