Kontroversi Karya Jurnalistik
Selain sebagai pendidik, Titus Brandsma menggarap bidang jurnalisme Katolik dan menjadi pendeta utama Persatuan Jurnalis Katolik Nasional Belanda pada tahun 1935. Titus Brandsma menjadikan jurnalistik senjata utama untuk menentang ideologi Nazi. Cukup menarik mengingat dalam keseharian dan biografinya, ia adalah seorang yang naif secara politik malahan dengan tegas mendesak editor untuk menghindari penerbitan propaganda untuk Sosialisme Nasional dan mengambil sikap tegas terhadap anti-Semitisme yang tertanam dalam proyek Nazi. Komitmennya terhadap kebenaran iman Katolik dan kemerdekaan pers akhirnya menyertnya dalam Jalan Salibnya sendiri.
Setelah penaklukan Jerman atas Belanda pada tahun 1940, Brandsma mendesak para uskup Belanda untuk menentang pelanggaran hak asasi manusia Nazi. Hal ini termasuk penganiayaan terhadap orang Yahudi Belanda. Akibatnya, ia menjadi sasaran rezim pendudukan, dan ditangkap setelah secara pribadi membagikan surat uskup Belanda secara sembunyi-sembunyi kepada editor Katolik Belanda. Surat itu dengan berani menginstruksikan para jurnalis untuk mengabaikan peraturan baru yang mewajibkan surat kabar dan majalah Katolik untuk mencetak dokumen dan artikel resmi Nazi. Penangkapan beliau oleh Gestapo pada 19 Januari 1942 membuat Titus Brandsma dipenjarakan di tiga lokasi berbeda di Belanda sebelum dipindahkan ke kamp konsentrasi di Dachau, di luar Munich.
Karya Kemartiran
Mendengar kata kamp konsentrasi saja sudah merinding. Apalagi kondisi di Dachau sangat buruk dan jauh dari layak membuat kondisi Titus yang saat itu berusia 61 tahun memburuk dengan cepat. Dengan kedok perawatan medis, ia malah menjadi sasaran eksperimen medis sebelum eksekusi suntik mati pada 26 Juli 1942. Mengetahui bahwa ajalnya makin dekat, ia berdoa agar Tuhan pada menyentuh hati nurani perawat yang bertindak sebagai eksekutor, bahkan memberinya rosario Karmelit yang khas. Tindakan ini beliau lakukan mengingat perkataan sang perawat yang melabeli dirinya sebagai Katolik tersesat. Tentunya tindakan Titus menggerakkan hati sang perawat beberapa tahun kemudian. Berdasar catatan gereja Karmelit St. Maria di Traspontina dekat Vatikan, perawat yang sama pergi ke biara Karmelit beberapa tahun kemudian untuk meminta pengampunan dan memberikan kesaksian guna penyelidikan beatifikasi pada November 1985.
Teladan Jurnalis dan Pekerja Media
Presiden Asosiasi Jurnalis Internasional Terakreditasi untuk Vatikan (AIGAV), koresponden Vatikan La Croix, dan Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Takhta Suci, beberapa hari lalu menyambut para wartawan di Gedung Duta Besar. Menurut mereka, Titus Brandsma berperan sebagai penasihat spiritual dalam mengingatkan jurnalis dan wartawan dalam berkarya. Sebagai salah satu Santo abad 20 yang akan dikanonisasi, ia adalah patron jurnalis pertama dalam artian kontemporer. Titus Brandsma menunjukkan pentingnya memiliki kompas moral yang kuat. Selain itu, Titus merupakan teladan pembela hak asasi manusia. Menurutnya, Titus menekankan bahwa cinta lebih kuat daripada ideologi kebencian dan pentingnya tiap orang untuk merasa saling terhubung bahkan pada saat terakhirnya. Pada saat jurnalisme berada dalam bahaya dari penyepelean, kesukuan, dan histeria di era demagogi internet dan media sosial, teladan keberanian dan kesetiaan Titus Brandsma di bawah tekanan besar layak direnungkan. Mari kita mencontoh semangat jurnalistik beliau dalam berkarya. (M-010)