Bahkan, Pemkot telah berkomitmen membeli lahan seluas 3 hektare di Pesanggaran dengan nilai sekitar Rp150 miliar sebagai lokasi pengolahan sampah tersebut. Namun, rencana itu akhirnya kandas.
“Kalau tetap kerja sama dengan pihak ketiga, subsidi listrik 20 sen per kWh tidak diberikan. Akhirnya pihak yang mau kerja sama mundur,” ujar Jaya Negara, seperti dikutip dari Radar Bali, Selasa (16/12).
Menurutnya, insentif tarif listrik tersebut merupakan faktor kunci agar proyek pengolahan sampah menjadi energi dapat berjalan secara finansial. Tanpa jaminan pembelian listrik dari PLN sesuai skema PSEL nasional, proyek dinilai tidak lagi layak secara ekonomi bagi investor swasta.
Kebijakan PSEL terbaru mewajibkan seluruh proyek pengolahan sampah menjadi energi berada dalam satu skema nasional yang dikoordinasikan Danantara. Konsekuensinya, pemerintah daerah tidak lagi memiliki keleluasaan untuk menunjuk mitra swasta secara langsung di luar mekanisme yang ditetapkan pemerintah pusat.
Akibat pembatalan tersebut, Pemkot Denpasar kini hanya bisa menunggu realisasi pembangunan PSEL oleh mitra yang nantinya ditunjuk langsung oleh Danantara. Saat ini, Danantara masih melakukan proses seleksi terhadap 24 perusahaan calon pengelola dari total 33 proyek PSEL yang direncanakan di berbagai daerah di Indonesia.
Di sisi lain, kondisi pengelolaan sampah di Denpasar semakin mendesak. Penutupan TPA Suwung pada 23 Desember 2025 membuat pemerintah daerah harus berpacu dengan waktu mencari solusi jangka pendek, sementara proyek PSEL nasional belum menunjukkan kepastian waktu pelaksanaan.*
- Editor: Daton









