JAKARTA,MENITINI.COM-Kejaksaan Agung kembali menyetujui tujuh permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice (RJ). Salah satu yang menjadi sorotan adalah perkara penadahan BBM ilegal di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Kasus tersebut menjerat tersangka Maharani binti Sabe, yang diproses Kejaksaan Negeri Paser atas dugaan melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan. Maharani diketahui membeli BBM jenis Dexlite hasil penggelapan dengan harga jauh di bawah harga resmi.
Peristiwa itu terjadi pada 14 Juli 2025. Saat itu, seorang saksi bernama Fadliansyah—yang tengah diproses dalam perkara terpisah—menggelapkan 20 liter Dexlite dari bus operasional milik PT Mandiri Herindo Adiperkasa (PT MHA). Ia kemudian menawarkan BBM tersebut kepada Maharani.
“Bu mau beli Dexlite kah, ini ada 20 liter?” tanya Fadliansyah. Setelah negosiasi singkat, Maharani membeli BBM itu seharga Rp10.000 per liter, lebih murah dari harga di SPBU yang berada pada kisaran Rp13.020–13.610 per liter.
Dari hasil pemeriksaan, Maharani membeli Dexlite tersebut bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan pada kendaraan roda empat yang dipinjam suaminya dalam rangka mencari nafkah. Unsur ini menjadi bagian pertimbangan Kejari Paser untuk menginisiasi penerapan restorative justice.
Pada 6 November 2025, proses perdamaian digelar. Tersangka mengakui perbuatannya dan menyampaikan permintaan maaf. Pihak PT MHA selaku korban juga menyatakan tidak keberatan dan meminta proses hukum terhadap Maharani dihentikan.
Kepala Kejari Paser kemudian mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur. Setelah dilakukan telaah, Kajati Kaltim menyetujui dan meneruskan permohonan tersebut kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum). Persetujuan resmi diberikan dalam ekspose RJ yang digelar 24 November 2025.
Selain perkara Maharani, Jampidum juga menyetujui enam perkara lain melalui mekanisme serupa, sebagian di antaranya juga terkait penadahan.
Dalam keterangan resmi, Jampidum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyampaikan sejumlah alasan pemberian RJ, antara lain: tersangka belum pernah dihukum, ancaman pidana di bawah lima tahun, adanya perdamaian yang dilakukan secara sukarela tanpa tekanan, hingga pertimbangan sosiologis bahwa perkara tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif,” tegas Jampidum dalam rilis tersebut.*
- Editor: Daton









