Selasa, 15 Oktober, 2024

WWF Peluang bagi Bali untuk Dikukuhkan Sebagai Pariwisata Regeneratif 

Desa wisata Jatiluwih di Bali terpilih sebagai destinasi wisata yang akan dikunjungi oleh delegasi World Water Forum ke-10, forum air internasional terbesar di dunia yang akan diselenggarakan pada 18 – 25 Mei 2024. (Foto: dok. Kemenparekraf)

DENPASAR, MENITINI.COM-Akademisi dan Ketua Program Doktor Ilmu Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. Nyoman Sunarta mengatakan, ajang World Water Forum (WWF) ke-10 di Nusa Dua Bali adalah peluang bagi Bali agar bisa dikukuhkan menjadi pariwisata regeneratif.

Menurut Sunarta, Bali adalah pulau yang kaya akan simbolisme air dan praktik keberlanjutan. Produk ini sudah mendunia. WWF Ke-10 di Bali harus menjadi kesempatan besar untuk mengukuhkan posisinya sebagai pionir pariwisata regeneratif. Artinya,  melalui penyelenggaraan WWF Ke-10 di Bali, harus menjadi kesempatan bagi Bali untuk memelihara dan memuliakan air menjadi produk pariwisata.

“Acara ini bukan hanya sebatas forum diskusi. Ini  adalah demonstrasi nyata dari komitmen Bali untuk memelihara dan memajukan warisan alam serta budayanya yang berfokus pada air sebagai sumber kehidupan,” ujarnya, Jumat (3/5/2024). 

Prof. Sunarta menguraikan kedalaman simbolisme air dalam budaya Bali. Di Bali, air bukan sekadar sumber daya. Air adalah inti dari spiritualitas dan kebudayaan. Diwujudkan dalam bentuk Dewa Wisnu, air merupakan simbol kesuburan dan kehidupan, esensial dalam upacara keagamaan yang mencerminkan siklus kehidupan manusia, dari lahir hingga mati. Sumber-sumber air di Bali  seperti mata air, sungai dan danau  dianggap sebagai sumber spiritual dan pusat peradaban air di Bali, memberikan kehidupan tidak hanya kepada manusia tetapi juga memperkaya keberlanjutan ekosistem sekitar. Dengan menjaga kelestarian sumber-sumber air ini, juga berarti menjaga  segala kehidupan, tidak hanya manusia tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Budaya dan adat istiadat yang ada menambah  kehidupan di Bali menjadi lebih hidup.

“Bali sebagai sebuah pulau dimana hubungan antara manusia, alam, budaya dan adat istiadatnya sangat harmonis, menjadikan Pulau Bali berbeda dengan pulau-pulau lain yang ada,” ujarnya. 

Ia juga menjelaskan soal peradaban air dan keberlanjutan pertanian di Bali. 

Sistem  subak dengan jaringan irigasi serta budayanya di Jatiluwih, telah dijadikan Warisan Budaya Dunia oleh  UNESCO. Ini merupakan contoh sempurna integrasi antara kearifan ekologi dan sosial budaya yang dimiliki Bali. Sistem subak bukan hanya tentang irigasi. Ia adalah filosofi yang menunjukan adanya  keseimbangan antara manusia dan alam. Peradaban ini membantu memelihara biodiversitas pulau dan mengatur pola tata guna air dan  pertanian yang telah mendukung masyarakat Bali selama berabad-abad. 

Lalu bagaimana dengan tantangan keberlanjutan dan langkah menuju konservasi air di Bali. Ia menjelaskan, sumber daya air seperti mata air, danau dan sungai serta laut dengan siklus alamnya  merupakan  permata alam yang berharga bagi Pulau Bali. Saat ini masayarakat Bali terus melakukan pelestarian sumber daya air dengan dukungan budaya dan adat istiadat yang sangat penting bagi masyarakat Bali.

“Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi yang kuat antara masyarakat adat dan lembaga pemerintah, kita dapat memulai era baru pelestarian sumber daya air di Bali yang lebih berkelanjutan,” ujarnya. 

Langkah-langkah konservasi yang diperkuat adalah kunci untuk memulihkan dan memelihara keindahan alami dan fungsi ekologis sumber-sumber air terutama danau, mata air dan sungainya. Bagi kawasan Jatiluwih, yang merupakan daerah resapan dan sabuk hijau pulau Bali, konservasi menjadi sangat penting. Terutama menjaga kelestarian Danau Beratan, Buyan dan Tamblingan, Mata Air Gembrong, Angsri, dan sungai-sungai  yang ada di sekitar kawasannya.  Inisiatif ini harus meliputi edukasi komprehensif bagi masyarakat, yang tidak hanya meningkatkan kesadaran tetapi juga memberdayakan mereka untuk menjadi bagian dari solusi. Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan penerapan teknologi hijau dapat mendukung upaya pemulihan dan menjaga kualitas air danau. 

“Ini adalah waktu untuk bertindak, untuk menginspirasi dan memotivasi satu sama lain agar terlibat secara aktif dalam upaya konservasi. Setiap langkah kecil yang kita ambil bersama untuk melindungi sumberdaya air adalah langkah menuju masa depan yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. Dengan kerja sama dan komitmen, kita bisa mengubah tantangan menjadi kemenangan untuk alam, budaya dan adat istiadat  Bali,” ujarnya.

Sementara Kepala Perwakilan Bank Indonesia periode 2018-2023 Trisno Nugroho mengatakan, air memiliki implikasi terhadap pariwisata dan ekonomi. Mengelola dan melestarikan sumber air tidak hanya penting untuk kehidupan sehari-hari.  Ini juga krusial untuk menjaga keberlanjutan pariwisata.

“Bali, sebagai tuan rumah World Water Forum, dapat menonjolkan praktik keberlanjutan ini kepada dunia, meningkatkan reputasinya sebagai destinasi yang bertanggung jawab secara lingkungan. Pariwisata regeneratif yang ditawarkan Bali berpotensi menarik wisatawan yang berkomitmen terhadap pelestarian alam dan budaya dan adat istiadat yang dimiliki masyarakat lokal,” ujarnya.

Pariwisata regeneratif yang diusung Bali, diyakini akan memberikan dampak positif yang sama kepada semua stakeholder. Melalui penyelenggaraan World Water Forum 2024 membawa harapan baru dalam pelestarian lingkungan hidup dan pengembangan ekonomi berkelanjutan. Dengan memanfaatkan peradaban air yang kaya dan mendalam, Bali tidak hanya mempertahankan sumber daya airnya tetapi juga menginspirasi dunia tentang bagaimana pariwisata dapat menjadi kekuatan positif dalam pelestarian alam dan budaya. Ini adalah kesempatan bagi Bali untuk mengukuhkan diri sebagai pemimpin global dalam mengimplementasikan pariwisata regeneratif dan keberkelanjutan. M-007

  • Editor: Daton