Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui tujuh perkara untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Persetujuan ini diberikan setelah ekspose virtual pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Salah satu perkara yang disetujui yaitu kasus penganiayaan di Seram Bagian Barat, Maluku. Tersangka Saipul Palisoa alias Ipul dan Samsul Bahri Palisoa didakwa melanggar Pasal 351 KUHP dan Pasal 170 KUHP terkait penganiayaan dan pengeroyokan. Kasus berawal dari percekcokan pada 16 Juni 2024 di Dusun Masika Jaya, Desa Waesala, yang berujung pemukulan dan menyebabkan korban mengalami luka.
Dalam proses perdamaian yang berlangsung 8 Agustus 2025, kedua tersangka mengakui perbuatannya, menyesal, dan berjanji tidak mengulanginya. Korban serta keluarga menerima permintaan maaf tanpa syarat. Usulan penghentian penuntutan kemudian diajukan Kejaksaan Tinggi Maluku dan disetujui JAM-Pidum.
Selain kasus di Maluku, enam perkara lain yang juga disetujui diselesaikan dengan restorative justice antara lain:
- Kasus pengeroyokan di Kabupaten Banjar dengan tersangka Fathurrahman dan M. Rizal.
- Kasus penggelapan dan penipuan di Deli Serdang dengan tersangka Atria Wiranta Tarigan.
- Kasus penganiayaan di Nias Selatan dengan tersangka Ferdiaman Laia.
- Kasus penganiayaan di Sambas dengan tersangka Ja’at bin Halimin.
- Kasus pencurian di Jakarta Selatan dengan tersangka Syihab Budin Aditya.
Kejaksaan Agung menegaskan, penghentian penuntutan berbasis keadilan restoratif dipertimbangkan karena adanya perdamaian antara tersangka dan korban, tersangka belum pernah dihukum, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun, serta adanya respon positif dari masyarakat.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai peraturan yang berlaku, sebagai wujud kepastian hukum,” ujar JAM-Pidum.*
- Editor: Daton