DENPASAR,MENITINI.COM– Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru Provinsi Bali tegas menolak penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan.
Kebijakan yang akan diberlakukan mulai 1 Juli 2025 itu dinilai tidak berpihak pada pekerja berpenghasilan rendah dan berpotensi mempersempit akses layanan kesehatan.
KRIS diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Kelas Rawat Inap pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan. Regulasi ini menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam BPJS, menggantinya dengan satu standar pelayanan berdasarkan 12 kriteria, mulai dari maksimal empat tempat tidur per ruang, pencahayaan dan ventilasi memadai, hingga keberadaan toilet dalam kamar.
Ketua FSP Kerah Biru Bali, Kadek Agus, menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan suara buruh, khususnya dari sektor informal dan peserta mandiri yang selama ini bergantung pada pilihan kelas yang lebih terjangkau.
“Penerapan KRIS ini terkesan dipaksakan tanpa partisipasi buruh. Alih-alih menciptakan keadilan, KRIS justru bisa menambah beban iuran dan menyulitkan akses pelayanan kesehatan bagi pekerja kecil,” kata Kadek Agus dalam siaran per yang diterima media, Jumat (27/6/2025).
Ia juga meragukan kesiapan rumah sakit di Bali dalam memenuhi seluruh kriteria KRIS.
Menurutnya, tidak semua fasilitas kesehatan mampu beradaptasi dalam waktu singkat, sementara regulasi menargetkan implementasi penuh pada 30 Juni 2025.
“Fakta di lapangan menunjukkan banyak rumah sakit belum siap. Jangan sampai pekerja justru menerima layanan lebih terbatas, atau malah diarahkan ke rumah sakit swasta dengan biaya tinggi,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut, federasi akan mengirim surat resmi kepada BPJS Kesehatan Cabang Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dan DPRD Bali untuk meminta penundaan penerapan KRIS hingga dilakukan kajian menyeluruh yang melibatkan perwakilan buruh.
“Kami juga tengah menjalin komunikasi dengan serikat pekerja lainnya untuk menolak KRIS secara nasional. Pelayanan kesehatan adalah hak rakyat, bukan layanan yang bisa diseragamkan tanpa memperhatikan keadilan sosial,” kata Kadek Agus.
Kehadiran KRIS dengan 12 kriteria tersebut adalah upaya meningkatkan pelayanan nonmedis bagi pasien JKN, dan hal tersebut baik adanya.
Namun lanjut Kadek Agus, permasalahan yang muncul dengan rencana pelaksanaan KRIS yang dilakukan secara utuh mulai 1 Juli 2025 adalah rencana pemerintah menerapkan KRIS Satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur (TT).
Dengan penerapan ini akan menghapus pelayanan ruang perawatan klas 1, 2 dan 3 bagi peserta JKN.
“Setelah mempelajari konsepsi dan rencana implementasi KRIS Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 TT tersebut, kami pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) di Tingkat Konfederasi dan Federasi menolak rencana Pemerintah cq. Kemenkes tersebut,”
Adapun alasan penolakan, kata Kadek Agus:
Pembahasan tentang KRIS Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 TT tersebut tidak pernah melibatkan maasyarakat dan terkhusus SP/SB sehingga rencana tersebut menurunkan kualitas layanan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
“Seharusnya dengan mengacu pada UU No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, rencana penerapan KRIS tersebut harus melibatkan Masyarakat, terkhusus SP/SB yang mewakili Pekerja/buruh Indonesia,” ujarnya.
Membaca Perpres No. 59 Tahun 2024, secara eksplisit tidak ada satu kata atau satu kalimat pun yang menyebutkan ada penghapusan variasi kelas rawat inap 1, 2, dan 3 bagi peserta JKN.
“Selama ini pekerja/buruh dan keluarga tidak pernah mengeluhkan ruang perawatan klas 1,2 dan 3 yang merupakan layanan nonmedis. Yang selama ini ada masalah di sisi layanan medis, seperti pasien disuruh pulang oleh RS dalam kondisi belum layak pulang, obat tidak ada di Apotik dan sebagainya,” urainya.
Ia menambahkan, pihaknya setekag berdiskusi dengan stakeholder JKN, sampai saat ini pun tidak ada kesepakatan penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan sehingga penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan di 1 Juli 2025 adalah bentuk pemaksaaan pemerintah kepada masyarakat, RS, dokter, dan stakeholder JKN lain.
“Selama ini pekerja/buruh memiliki hak pelayanan rawat inap di klas 1 atau 2 yang jumlah tempat tidur antara 1 sampai 3 tempat tidur, sehingga bila nanti diturunkan ke empat tempat tidur maka ini akan menurunkan kualitas layanan kepada pekerja/buruh dan keluarga. Kami sudah membayar iuran cukup besar yaitu 5 persen dari maksimal upah Rp. 12 juta per bulan,” ujarnya.
Bahwa dengan KRIS Satu Ruang Perawatan berpotensi mendukung out of pocket peserta JKN termasuk pekerja/buruh untuk naik kelas perawatan yang tidak dijamin JKN yaitu dengan membayar selisih biaya ruang perawatan. Dengan keterbatasan ruang perawatan maka pasien JKN juga berpotensi “dipaksa” menjadi pasien umum yang harus membayar sendiri.
Pihaknya, khawatir dengan penerapan KRIS satu ruang perawatan berpotensi besar mendukung terjadinya defisit pembiayaan JKN sehingga pelayanan JKN kepada masyarakat termasuk pekerja/buruh dan keluarga makin menurun.
“Atas dasar argumentasi kami di atas, maka kami SP/SB mewakili Pekerja/buruh menyatakan sikap Kami menolak penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan,”tegasnya mengakhiri.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP KSBSI) menyampaikan keluhan soal dugaan penurunan kualitas layanan BPJS Kesehatan dalam audiensi bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPP KSBSI, Johannes Dartha Pakpahan menyoroti pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 terkait standardisasi kamar rawat inap atau kelas rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan.
“Kami tidak keberatan soal standardisasi kamar, tapi jika diberlakukan menjadi satu kelas untuk semua, kami menyatakan keberatan,” kata Johannes di Kantor DJSN, Jakarta, Senin (19/5/2025).
Menurut Johanes Dartha, kebijakan penyederhanaan kelas rawat inap menjadi satu kelas bisa berdampak buruk pada kualitas layanan yang diterima oleh buruh.(*)
Editor: Daton