Sekretariat DPRD Bali Studi Tiru ke NTB, Pelajari Pengolahan Sampah Menjadi Energi

image
Kegiatan pengolahan sampah di Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok, Lombok Barat, yang nantinya akan diolah menjadi Solid Recovered Fuel (SRF). (Foto dok. ciptakarya)

MATARAM,MENITINI.COM-Sekretariat DPRD Provinsi Bali melakukan studi tiru ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mempelajari pengolahan sampah menjadi produk bernilai guna dan bernilai jual.

Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD Bali, I Kadek Putra Suantara, mengaku takjub dengan keberhasilan pengolahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok, Lombok Barat, yang mampu mengubah sampah menjadi Solid Recovered Fuel (SRF).

“Kami ingin mendapat pembelajaran dari NTB, khususnya terkait pengolahan sampah menjadi SRF. Hal ini bisa menjadi bahan masukan atau pertimbangan untuk diterapkan di Bali,” ujar Kadek Putra saat kunjungan pada Kamis (17/7).

Ia menyampaikan bahwa Bali sebelumnya telah mengolah sampah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) melalui Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Namun, pelaksanaannya mengalami kendala karena belum adanya off taker atau pembeli tetap hasil pengolahan tersebut.

BACA JUGA:  RSU Bhakti Rahayu Bayarkan Tunggakan BPJS Mandiri Warga dengan Sampah Plastik

Berbeda halnya dengan NTB, SRF hasil pengolahan di UPTD TPA Kebon Kongok telah berhasil dipasok secara rutin ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang, yang berlokasi tak jauh dari TPA.

“Kami ingin mendalami sistem dan mekanisme pengolahan limbah yang diterapkan di sini,” lanjutnya.

Kadek Putra juga menyoroti bahwa selain teknis pengolahan, dukungan masyarakat dalam pelaksanaan regulasi pengelolaan sampah juga menjadi tantangan tersendiri di Bali.

Hal serupa diungkapkan Kepala UPTD TPA Kebon Kongok, Radius Ramli Hidarman. Ia mengakui, meskipun pihaknya berhasil mengolah sampah menjadi energi, persoalan di hulu, yakni kebiasaan masyarakat dalam membuang sampah campuran masih menjadi kendala utama.

Radius menjelaskan, TPA Kebon Kongok awalnya juga dirancang untuk memproduksi RDF, seperti di Bali. Namun setelah dilakukan penelitian, SRF dinilai lebih efisien karena lebih homogen dan sesuai dengan kebutuhan PLTU di wilayah tersebut.

BACA JUGA:  Jika Tak Dipilah, Tak Diangkut, Ini Jadwal Angkut Sampah Organik dan Unorganik di Karangasem

“RDF memiliki komposisi yang beragam, kecuali limbah medis. Sedangkan SRF komposisinya 95 persen berasal dari sampah organik seperti daun dan ranting, dan hanya 5 persen yang anorganik,” jelasnya.

Meski telah mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp1,8 miliar per tahun dari penjualan SRF, Radius mengungkapkan kapasitas pengolahan masih terbatas, yakni hanya 30 ton per hari dari total 345 ton sampah yang masuk setiap harinya.

Ia menekankan pentingnya pemilahan sampah sejak dari sumber untuk meningkatkan kapasitas produksi SRF. Kurangnya pemilahan menyebabkan petugas kewalahan dalam proses sortir di TPA.

“Kami berharap Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram dapat menekan volume sampah yang masuk ke sini dengan mengoptimalkan pengelolaan sampah di tingkat hulu. Sebenarnya potensi kami masih besar, tapi butuh dukungan pemilahan dan tambahan alat,” ujarnya.

BACA JUGA:  Gubernur Bali: Penjualan AMDK di Bawah 1 Liter Harus Setop Mulai 2026

Radius menambahkan, jika pemilahan dapat dilakukan secara optimal, potensi penjualan SRF sebagai bahan bakar energi akan meningkat. Saat ini, SRF dijual dengan harga Rp425 per kilogram pada tingkat kalori 2.300 kW.

Ia menyimpulkan, pengelolaan sampah yang ideal memerlukan dua kunci utama: peran aktif masyarakat dalam pemilahan sampah sejak dari rumah serta adanya kepastian pasar untuk penyerapan hasil olahan sampah tersebut.*

  • Editor: Daton

BERITA TERKINI

Indeks>>

PT. BADU GRAFIKA MANDIRI

Jalan Gatot Subroto 2 No. 11 A, Banjar Lumbung Sari, Desa Dangin Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara

Ikuti Kami