Volatilitas Tingkat Elektoral Partai
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset dan Program ALGORITMA Research and Consulting Fajar Nursahid menyampaikan bahwa ada volatilitas yang sangat kentara juga di proyeksi bursa elektoral partai politik peserta Pemilu 2024.
PDIP masih memuncaki kompetisi elektoral dengan raihan sebesar 22,7%, diikuti oleh Partai Gerindra (13,0%), dan yang mengejutkan adalah PKB yang naik ke posisi ketiga untuk tingkat elektabilitasnya (11,1%). Pada umumnya partai-partai yang saat ini memiliki kursi di parlemen seperti Golkar, Nasdem, Demokrat, PKS dan PPP diperkirakan akan lolos ambang batas parlemen karena mendapat raihan suara di atas 4%. Namun PAN berpotensi rawan tidak lolos ke parlemen. Sementara itu, peluang partai-partai baru dalam kompetisi elektoral masih perlu berusaha keras untuk meyakinkan calon pemilih agar bisa menembus batas parliamentary threshold (PT) 4%.
Berikut ini adalah level elektoral partai dari yang terbesar yaitu; PDIP (22,7%), Gerindra (13%), PKB (11,1%), Golkar (6,4%), Nasdem (6,3%), Demokrat (4,8 %), PKS (4,1%), PPP (4%), PAN (2,9%), Perindo (1,5%), PSI (0,6%), Hanura (0,6%), Gelora (0,3%), PBB (0,2%), Partai Buruh (0,2%), Partai Ummat (0,1%) serta PKN (0%). Di luar itu hanya 0,3% responden menyatakan tidak akan memilih (golput), 6,1% merahasiakan pilihannya, 10,5% tidak tahu dan 4,2% tidak menjawab.
“Peta elektoral masih bersifat volatil ditunjukkan oleh lebih dari separuh pemilih (54,5%) yang masih mungkin berubah pilihan politiknya. Hanya sekitar sepertiga dari total pemilih yaitu 35,6% yang sudah yakin dengan pilihannya sehingga tidak akan mengalihkan pilihan ke partai politik lain,” beber Fajar.
Fajar juga menjelaskan volatilitas pilihan tersebut berkorelasi dengan figur calon presiden yang akan didukung oleh suatu partai politik. Hampir dua pertiga pemilih yaitu 63,6% menyatakan bahwa akan mempertimbangkan calon presiden yang diusung partai politik tersebut yang sesuai dengan sosok calon presiden yang didukungnya.
Negara Bergerak ke Arah yang Benar
Hasil survei menunjukkan, mayoritas masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Hal tersebut tergambarkan dengan 76,7% responden yang menyatakan bahwa negara saat ini bergerak ke arah yang benar. Angka tersebut berbanding jauh dengan hanya 9,8% yang merasa bahwa negara ini bergerak ke arah yang tidak benar, sementara 6,3% ragu-ragu dan 7,3% tidak tahu.
“Pandangan mengenai arah gerak negara ini menunjukkan siapapun pilihan capresnya, mayoritas cukup puas dengan perkembangan arah gerak negara ini. Hal ini juga yang memperkuat keyakinan kami bahwa mungkin kekhawatiran kita mengenai polarisasi itu berlebihan. Karena jika bangsa ini terpolarisasi sedemikian rupa, maka pandangan mengenai arah pergerakan negara ini akan sangat terbelah,” terang Fajar.
Sebangun dengan pergerakan arah negara, approval rating atau tingkat kepuasan terhadap pemerintahan saat ini ada di angka yang tinggi yaitu total 83,2 persen pemilih ada di katagori puas (sangat puas 8,7%, puas 43,4%, cukup puas 31,1%). Hanya 12,4% responden yang tidak puas serta 3% tidak tahu dan 1,4% tidak menjawab.
Kepuasan tersebut juga tergambar dengan penilaian salah satu unit ekonomi terkecil yaitu level ekonomi rumah tangga. Hanya 18,9% responden yang mengatakan kehidupan ekonomi keluarga lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi tahun lalu. 38,2% bahkan mengatakan kondisi ekonomi keluarganya lebih baik dan 40,1% mengatakan sama saja.
Dukungan Presiden Jokowi
Fajar juga menjelaskan ALGORITMA mendapatkan temuan menarik sejalan dengan approval rating pemerintahan yang tinggi, publik masih terbelah sekalipun menjunjukkan tren melentur menyikapi perdebatan mengenai dukungan Presiden Jokowi terhadap salah satu calon presiden yang akan bertarung.
41,8% responden setuju jika Presiden Jokowi menyebutkan pilihan politiknya di Pemilu 2024 nanti dengan mendukung salah satu nama tokoh menjadi calon presiden sementara 37% bersikap sebaliknya tidak setuju.
“Jika dibandingkan dengan hasil survei kami Desember 2022 ada tren pergeseran karena saat itu hanya 35,2% yang setuju dan 45% tidak setuju,” tutur Fajar.
Namun dukungan Presiden Jokowi tidak berarti masyarakat akan langsung mengikuti pilihannya, karena hanya 41,8% persen responden tetap mempertimbangkan tokoh yang akan dipilih dan hanya 19,6% yang akan mengikuti siapapun yang dipilih Presiden Jokowi. Bahkan ada 17,7% yang tidak akan mengikuti siapapun yang dipilih oleh Presiden Jokowi.
“Yang menarik, ketika kami menanyakan siapa sosok yang diyakini akan didukung Presiden Jokowi menjadi calon presiden, maka 39,9% responden meyakini Jokowi mendukung Ganjar Pranowo, 20% Prabowo Subianto, 9,2% Anies Baswedan, 24% tidak tahu dan 6,9% tidak menjawab,” ungkap Fajar.
Momentum Pembangunan Ekonomi
Direktur Eksekutif ALGORITMA Aditya Perdana melengkapi pemaparannya dengan menyampaikan bahwa harapan yang tinggi dari masyarakat untuk keberlanjutan pembangunan dan akselerasi pertumbuhan ekonomi harus dijawab dengan program yang nyata baik dari sisi partai politik maupun capres maupun cawapres.
Menurutnya jika ada capres yang menawarkan keberlanjutan program pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, maka perlu dibuat jelas seperti apa narasi besarnya hingga ke level operasional kerangka kebijakannya. Situasi ini menciptakan momentum yang langka ketika masyarakat merasa puas dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dirasakan dan menginginkan agar bisa lebih berakselerasi.
“Para capres dan partai politik perlu untuk menangkap tren tersebut dengan program-program pertumbuhan ekonomi yang kuat sekaligus memberikan harapan ke masyarakat,” tambah Aditya
Aditya juga menekankan situasi ini bisa menjadi momentum bagi capres atau cawapres yang memiliki konsep maupun rekam jejak di bidang ekonomi yang kuat untuk menarik hati masyarakat. (M-003)
- Editor: Daton
- Ketua DPRD Buleleng Minta Penyusunan APBD Lebih Realistis
- Pengurus Ikatan Alumni Giovanni Resmi Dilantik, dr. Imelda Pimpin IKA Givans
- Ketua DPRD Buleleng Sampaikan Krisis Calistung dan Sarpras Sekolah ke BAM DPR RI
- AMPI Dukung Demer Pimpin Golkar Bali
- Komisi XI DPR RI Ingatkan Bea Cukai: Jangan Jadikan PLB Tempat Dumping Barang Impor