Ribuan Rapid Tes di Banjar Serokadan Kabupaten Bangli Palsu, Ini Penjelasan Kadiskes Bali

BALI, MENITINI.COM – Dugaan kasus rapid tes palsu mencuat setelah dilakukan tes terhadap warga di Banjar Serokadan, Desa Abuan, Bangli, Kamis (30/4/2020) lalu.  Pasalnya, 443 orang dari 1.210 warga yang ikut test dinyatakan reaktif terhadap rapid test atau tes cepat deteksi virus corona (Covid-19). Anehnya, setelah diuji ulang dengan tes PCR, 275 orang malah dinyatakan negatif. Sedangkan sisanya, masih menunggu jadwal swab.

Informasi yang dihimpn selama sepekan setelah rapid test, rapid test dengam merek dagang VivaDiag buatan Tiongkok yang diimpor PT Kirana Jaya Lestari dipesan Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebanyak 4.000 unit dengan total anggaran Rp1miliar lebih.

“Rapid test tersebut memang kita beli dan baru datang. Baru digunakan di Abuan saja. Karena ada perbedaan hasil setelah di cross chek dengan rapid test lain, maka kita konfirmasi ke Kemenkes. Besok produk tersebut akan diperiksa oleh Kemenkes. Sementara ini rapid test tersebut kita tarik, dan diganti dengan yang lain.” tulis Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Ketut Suarjaya melalui pesan singkat WhatsApp, Senin (4/5/2020).

Ia menyebutkan, pihaknya membeli 4.000 unit alat rapid test itu belum lama ini. Namun kapan persisnya, Ia berdalih tak ingat. “Kalau itu bagian pengadaan yang tahu,” kata Suarjaya berdalil.

Dia mengklaim, alat itu baru digunakan di Banjar Serodakan. Karena ada perbedaan hasil yang “sangat jauh” dan melenceng, maka penggunaan VivaDiag sementara dihentikan. Peredarannya ditarik. “Sementara ini rapid test tersebut kami tarik dan diganti dengan yang lain,” ujarnya.

Lebih jauh Suarjaya menginformasikan VivaDiag saat ini tengah diperiksa Kementerian Kesehatan. Karena itu, ia menolak mengomentari soal akurat tidaknya VivaDiag dalam mendeteksi Covid-19. “Kemenkes nantinya yang akan membahas ini dengan sampel dari rapid test yang kita beli itu, kenapa ada perbedaan. Nanti Kemenkes yang akan membahasnya apakah itu akurat atau tidak,” kata Suarjaya.

Yang pasti, Suarjaya memastikan, pembelian VivaDiag dilakukan karena nama merk tersebut tercantum di laman resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional sebagai salah satu alat rapid test yang direkomendasikan.

Meski demikian, dalam pesan Whatsapp yang mengatasnamakan Wakil Koordinator Subbidang Pam dan Gakkum Gugus tugas Covid 19 Pusat BJP Dr Darmawan, disebut bahwa BNPB tidak pernah mengeluarkan rekomendasi terhadap alat rapid test VivaDiag yang digunakan Pemprov Bali di Desa Abuan, Kabupaten Bangli untuk mengetes 1.210 warga setempat bulan April lalu.

“Apabila ada di daerah ditemukan alat rapid test Covid 19 merek VivaDiag yang dijual oleh PT Kirana Jaya Lestari untuk diamankan karena alat tersebut tidak valid dan tidak direkomendasikan oleh BNPB, serta laporkan kepada kepolisian setempat untuk dilakukan penyitaan,” demikian bunyi pesan tersebut.

Dikonfirmasi soal ini, Kepala BPBD Provinsi Bali, Made Rentin menyatakan, hal itu masih dalam penelusuran. “Masih ditelusuri oleh BNPB,” katanya. Rentin menegaskan, selama penelusuran maka rapid test dengan VivaDiag untuk sementara dihentikan.

Terlepas dari ketidak-akuratan yang ditemukan di lapangan, VivaDiag justru menjadi salah satu alat test yang direkomendasikan oleh BNPB. Dalam daftar rekomendasi rapid diagnostic test (RDT) antibodi Covid-19 per 21 April 2020, merek VivaDiag berada pada urutan ke-13. Alat tes tersebut diproduksi VivaChek Biotech (Hangzhou) Co., Ltd dan diimpor PT Kirana Jaya Lestari.

BNPB juga memberi rekomendasi pembebasan bea masuk dan pajak impor terhadap PT Kirana Jaya Lestari, yang tertuang di surat rekomendasi tertanggal 31 Maret 2020. Perusahaan tersebut mengimpor rapid test VivaDiag sebanyak 900 ribu unit.

Sementara Direktur PT Kirana Jaya Lestari, Aurelia Ira Lestari mengatakan, pihaknya telah membantah melalui press release yang dikirim kepada koran, bahwa produk tersebut tidak palsu dan direkomendasikan oleh BNPB. “Kan sudah ada bantahan resmi dari PT Kirana Jaya Lestari. Produknya tidak palsu. Nanti kami kirim press release bantahan dari PT Kirana Jaya Lestari ,”kata Ira saat dihubungi (4/5/2020).

Menurutnya,  Rapid Test  VivaDiag IgG/IgM Covid-19 yang memang saat ini dibutuhkan untuk membantu menangani pandemi corona cirus.

Bersama surat ini kami ingin mengklarifikasikan beberapa isu yang beredar saat ini melalui media digital yang  meresahkan pengguna dari Rapid Test VivaDIag IgG/IgM Covid-19

1. Adalah benar bahwa produk Rapid Test VivaDiag IgG/IgM Covid-19 merupakan salah satu Rapid Test  yang digunakan Dinas Kesehatan Propinsi Bali pada pemeriksaan di Desa Abuan, Bangli.  Dilaporkan hasil pemeriksaan menunjukan adanya kecenderungan ‘false positive’. Berdasarkan pelaporan tersebut,  beberapa inisiatif dan langkah antisipatif telah kami lakukan termasuk:  a. penghentian penggunaan dan penarikan sementara khusus untuk Lot no 3097 dari semua  Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang telah menerima Lot no 3097 dan digantikan dengan produk  Lot number berbeda. b. Telah melakukan pelaporan dan komunikasi kepada Direktorat Pengawasan Dirjen Farmalkes 

Kemenkes RI. c. Pabrikan sudah memulai melakukan analisa terhadap laporan ini.

2. PT Kirana Jaya Lestari adalah distributor Alat Kesehatan yang memiliki Sertifikat Distribusi Alat 

Kesehatan (SDAK) dari Kementerian Kesehatan dan telah mendapatkan sertifikat CDAKB (Cara Distribusi  Alat Kesehatan yang Baik) sehingga dalam melakukan importasi dan distribusi alat kesehatan selalu  mengikuti peraturan dan prosedur yang berlaku. Dalam hal ini, importasi Rapid Test VivaDiag IgG/IgM  Covid-19 dilakukan dengan Rekomendasi BNPB dengan No B-276/BNPB/HOKS/KU.08/03/2020 yang  diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020 dan ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum Organisasi dan  Kerjasama BNPB.  “Untuk isu yang beredar ini kami sudah melakukan pelaporan dan komunikasi dengan 

pihak BNPB,”kata Ira.

Penelusuran Menitini harga  satu unit rapid test dijual PT Kirana Jaya Lestari Rp 250 ribu. Harga pokoknya Rp176 ribu per unit. “PT Kirana Jaya Lestari jual dengan harga segitu sudah termasuk PPn dan margin (untung-red). Tinggal dikalikan saja dengan berapa unit yang dipesan oleh Dinkes Bali,” bisik salah satu dokter RS terkemuka di Bali saat ngobrol beberapa hari lalu. “Yang saya tahu ya, prosedurnya pemesanan oleh rumah sakit. Dinas hanya menyetujui karena  yang lebih tahu teknisnya dokter di rumah sakit bukan instansi terkait,”ujarnya lagi. tim menitini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *