“Ini bukan sekadar industri kecil yang hanya menghasilkan batik atau tenun. Ini adalah wajah bangsa, bagian dari harga diri dan kemandirian kita,” tegasnya. Ia menyebut konsumsi pakaian bekas impor tidak sejalan dengan upaya membangun bangsa yang berdaya saing dan bermartabat.
Rachmat bahkan mempertanyakan apakah Indonesia ingin menjadi “bangsa bekas” jika terus membiarkan barang sisa konsumsi luar negeri membanjiri pasar domestik. Ia menekankan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat memang penting, namun negara tidak seharusnya memberikan pilihan yang menurunkan kualitas konsumsi rakyat.
Menurutnya, solusi utama adalah memperkuat kembali industri kecil dalam negeri, bukan membuka pintu impor pakaian bekas yang jelas merugikan produsen lokal. Ia menilai masyarakat tetap harus mendapatkan barang berkualitas, dan itu bisa tercapai jika pelaku industri kecil diberi ruang berkembang.









