Kamis, 7 November, 2024

Pariwisata Andalan, Rentan Gangguan, “Selalu Jadi Terdakwa”

Water Blow di Pulau Peninsula Nusa Dua

Agustinus Apollonaris K Daton

Pariwisata ternyata sudah masuk teramat dalam dan menguasai hampir seluruh aspek kehidupan rakyat Bali – menguasai ekonomi, politik dan dan kebudayaan.

Di bidang ekonomi,  menurut data BPJS, sumbangan sektor jasa yang dilokomotifi pariwisata dalam pendapatan daerah (produk domestic regional bruto-PDRB) Bali selama kurun waktu 45 tahun (1971-2015) meningkat hampir tiga kali lipat– 31,8 persen menanjak menjadi 78 persen.

Sebaliknya sektor pertanian turun drastis dari 59,5 persen menjadi 21,2 persen. Sementara manufaktur naik signifikan dari 8,9 persen menjadi 15,4 persen, tetapi dilihat dari struktur ekonomi (economyc structure perspektif ) berada di urutan terbawah.  

Ini memberi isyarat sedikit saja ada gangguan di sektor pariwisata, Bali bisa gawat. Faktanya pariwisata Bali nyaris tak pernah kering dari gangguan dari luar ataupun dalam. Hal ini menguatkan pariwisata sungguh menjadi andalan Bali di bidang ekonomi tapi tidak andal. Sebaliknya pertanian dan industri   kecil kerajinan (manufacturing) sangat andal, namun belum bisa tampil sebagai andalan.

Mengapa pariwisata disebut tidak andal? Rentan terhadap gangguan. Dan gangguan itu acap kali penuh dengan ketidakpastian. Bisa datang dari luar, bisa juga dari dalam. Gangguan luar yang pertama kali pariwisata Bali adalah krisis ekonomi global dan sebelumny mulai dari perang Teluk. Kemudian tragedy WTC (world trade center) di AS 11 September 2001, pengeboman pentagon ke Irak, sampai Bom Bali I dan II yang melahirkan nestapa bagi pulau Bali.

Belum lagi gangguan alam seperti meletus Gunung Agung dan Gunung Merapi, pariwisata Bali juga kewalahan walaupun kemudia dengan cepat recovery. Kasus Flu Burung, SARS, Swine Flu juga mengguncang pariwisata. Lagi lagi pemulihan sangat cepat, tak perlu waktu lama turis sudah ke Bali lag.  Namun Covid-19 membuat Bali tak berdaya. Pariwisata yang menjadi andalan pulau ini tak berdaya, di titik nadir bahkan mati suri.  Semua sektor terdampak.

Pemutusan hubungan kerja pun terjadi. Puluhan ribu tenaga kerja dirumahkan. Pertanian dan industri manufactur yang belum menjadi andalan kembali didengungkan di tengah dunia didera Pandemi Covid-19. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda pemulihan pariwisata.

Ada gangguan lain yang tak kalah seriusnya mengganggu pariwisata. Sebagai wartawan pariwisata, penulis pun merekam sejumlah gangguan yang terjadi dalam 25 tahun terakhir.

Gangguan itu antara lain :  (1), daya Tarik wisata terutama pemandangan alam dan atraksi budaya Bali dirasakan mulai decline. (2), pengembangan produk (product develpments) kian jauh dari haluan budaya Bali.   (3), obyek dan daya tarik wisata belum mampun mengedepankan produk inti karena selalu didominasi produk asesoris (kios barang kerajinan, dagang makanan dan minuman dan sejenisnya). (4), marketing dan promosi kepariwisataan kerap dijalankan tanpa kordinasi, tanpa target dan tanpa evaluasi. (5), dalam 12 tahun terakhir dana promosi dan pembenahan destinasi sangat minim. (6), hukum masih terkesan tak pasti. Tumpul keatas, tajam kebawah. (7) Pelayanan Imigrasi di masih terkesan seram, tegang dan “ngemplang” (8), prilaku masyarakat berubah. Dulu yang terkenal ramah tamah dan murah senyum, kini cepat gerah. Sibuk dalam urusan politik, posisi dan persoalan etnisitas (9), daya saing pariwisata Bali kian lemah bahkan di kesankan condong ke destination of yesterday (world economy forum-WTF).

Ini semua terjadi karena pengelolaan destinasi Bali kurang professional akibat belum adanya manejemen destinasi yang utuh. Sadar atau tidak, Bali kini, senyatanya diatur dan dikelolah oleh 10 manejemen visi manejemen destinasi – Sembilan di kabupaten/kota, satu provinsi, sisanya intansi vertical. Dengan demikian praktek di lapangan menggambarkan sebuah “visi manejemen coba coba” karena bersumber dari dari gabungan antara intuition,courage dan trial (suara hati, dan keberanian pemegang otoritas untuk mencoba-coba). Karena sifatnya coba coba, maka jangan heran tidak ada pegangan yang jelas, tanpa parameter (sukses dan gagal) tanpa destination strategic plan atau sejenisnya.

Akibat lanjutan, padangan antara satu komponen Bali dan komponen lainnya tak simetris. Ada komponen yang kukuh menyebutkan pariwisata paling menjanjikan kemakmuran ekonomi bagi rakyat Bali, sekaligus memposisikan pariwisata sebagai wahana pelestearian alam, adat dan budaya. Serta memberi inspirasi  dalam proses pengayaan, konservasi, adaptasi dan rekonstruksi  terhadapa kebudayaan. Sementara komponen lainnya tak kalah kerasnya berteriak dengan lantang dan memvonis pariwisata paling potensial menciptakan sial bagi masa depan Bali.  

Kelompok terakhir termasuk media asyik menyalahkan pariwisata. Jalur hijau dan tata ruang hancur akibat alih fungssi lahan yang tak terbendung dan zonasi yang amburadul. Pariwisata dituding sebagai biang kerok. Bangunan kumuh bermunculan, langgam bangunan tradisional Bali mulai terdesak. Pantai, tebing, jurang berubah jadi bangunan beton, hutan lindung terambah, pariwisata dituding lagi seebagai penyebab utama. Ritualitas dan symbol-simbol agama dikomersialkan dan nilai budaya tereksploitasi, pariwisata dipojokkan. Pekerja seks berkeliaran, judi, mabuk, narkoba merajalela dan teroris beraksi pariwisata dijadikan terdakwa utama. 

Intinya semua masalah dilempar ke pariwisata, bukan kepada manusia penyedia jasa, pemodal, penguasa atau masyarakat umum yang menikmati hasil pembangunan pariwisata. Pariwisata dalam hubungan itu diposisikan senagai benda hidup yang bisa membuat dirinya baik atau buruk, terpuji atau terhina. Begitu kurang lebih perlakukan komponen Bali terhadap pariwisatanya selama ini.

Celakanya, tatkala persoalan ekonomi muncul – apakah itu menyangkut pendapatan daerah turun, kesempatan kerja mandeg, atau pengangguran membengkak – pilihan Bali sangat terbatas. Di tengah keterbatasan itu, ternyata pariwisata juga yang paling mampu memberikan jawaban manakala benar pengelolaannya, mantap kordinasinya antar kabupaten/kota dan propinsi, imbang kewajibannya, adil dan merata pendistribusian hasil. Ini memungkinkan untuk dicapai jika manejemen destinasi pariwisata Bali menjadi satu kesatuan yang utuhh (satu pintu).

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir entah sampai kapan, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota berkordinasi dan aksi nyata, membenahi dan menata daya tarik wisata di masing masing daerah.

Ketika pariwisata menggeliat lagi dengan adaptasi kebiasaan baru (protokol kesehatan), wisatawan mancanegara sudah mulai berdatangan Bali sudah tertata pengembangan seturut anjuran WTO : berkualitas, berkelanjutan dan berkesimbangan **