Diet Anti Inflamasi, Mitos atau Fakta?

DENPASAR, MENITINI.COM – Membicarakan tentang proses peradangan kronis, pasti banyak sekali kaitannya dengan peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung. Cara yang paling efektif dan terbukti hingga saat ini adalah melawannya dengan makanan kaya akan antioksidan atau asam lemak omega-3. Kehadiran antioksidan berperan sebagai anti peradangan dalam tubuh kita. Saat ini, muncul tren tentang diet anti peradangan atau diet anti inflamasi. Apa itu? Apakah mitos kekinian ataukah fakta?

Fakta Diet Anti Inflamasi

Seperti pada jenis diet lainnya, sebelum ada bukti penelitian selalu berawal dari hal-hal kekinian yang viral. Sama halnya dengan diet anti inflamasi ini. Banyak influencer media yang ikut-ikutan tren ini. Mereka yang pro diet anti inflamasi menyarankan untuk mengurangi makanan yang dapat memicu peradangan, seperti daging merah dan produk susu berlemak tinggi.

Diet anti inflamasi ini digadang dapat membantu mengurangi risiko penyakit terkait peradangan kronis, seperti penyakit jantung, artritis, dan diabetes. Tiga primadona pembunuh utama abad ini. Nah, peradangan akut terjadi ketika sistem kekebalan bekerja setelah tubuh menderita luka atau infeksi virus, dan mungkin memicu nyeri dan bengkak selama beberapa hari. Tetapi peradangan kronis berkembang selama bertahun-tahun dan susah kita identifikasi.

BACA JUGA:  Dianggarkan Rp23 Miliar, Pembangunan Puskesmas III Denbar

Frank Hu, PhD, MD, seorang profesor nutrisi dan epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health, mengatakan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara, obesitas, gaya hidup pasif, dan pola makan yang tidak sehat semuanya dapat menyebabkan peradangan kronis. Beliau mengibaratkan, pembuluh darah kita dalam kondisi terbakar terus menerus meski dalam kondisi api kecil. Studi beliau tahun 2020 pun mendukung bahwa kondisi ini meningkatkan resiko penyakit jantung. Cara pencegahan mudahnya adalah dengan mengonsumsi lebih banyak makanan anti radang dan membatasi makanan pemicu radang.

Prosedur Diet Anti Inflamasi

Berbeda dengan diet DASH atau pola makan terstruktur lainnya, diet anti inflamasi tidak memiliki aturan yang ketat. Mudahnya, perbanyaklah makan sayuran hijau gelap, tomat, minyak zaitun, beri, biji-bijian, kacang, salmon, dan ikan berlemak lainnya. Minimalkan atau hindari sama sekali jeroan, daging merah, karbohidrat olahan seperti roti putih dan kue kering, gorengan, dan minuman ringan jika tidak perlu.

BACA JUGA:  Jenuh Berkepanjangan? Simak Serba-Serbi Fenomena Kewalahan Berikut

Makanan anti inflamasi bertujuan untuk meredakan proses peradangan yang sudah berlarut-larut terjadi dalam tubuh kita akibat gaya hidup. Selain itu diet anti inflamasi melibatkan lebih banyak protein nabati, seperti tahu dan kacang-kacangan daripada protein hewani. Untuk daging merah pasti akan sulit memberhentikan sama sekali. Namun, bukanlah sebuah dosa besar jika kita konsumsi 1-2 kali sebulan.

Kopi hitam dan anggur merah dalam jumlah sedang juga berperan sebagai anti inflamasi karena mengandung polifenol. Bukan penikmat keduanya? Tidak masalah! Polifenol juga ada pada banyak makanan nabati lainnya. Profesor Hu mengamini bahwa kehadiran polifenol dapat mengurangi stres oksidatif, yang dapat merusak sel, protein, dan lipid, sehingga berkontribusi terhadap peradangan. Selain itu, akan terjadi peningkatan sensitivitas insulin dan mempromosikan mikrobioma usus yang sehat ketika kita menjalani diet ini.

Diet Saja Tidak Cukup

Sebenarnya, proses diet apapun itu tidak dapat berjalan sendirian. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari diet anti inflamasi pun, para ahli mengatakan untuk memasukkan praktik gaya hidup yang lebih sehat pula. Tidak ada makanan atau nutrisi super yang bisa Anda konsumsi dan memperbaiki tubuh Anda secara instan. Untuk mencapai hidup yang lebih sehat harus melibatkan pendekatan holistik dari seluruh aspek kesehatan.

BACA JUGA:  Memahami Bullying dan Dampaknya

Beliau menekankan pentingnya menjaga pola tidur yang baik, mengurangi stres, menjaga berat badan yang sehat, tidak merokok, dan berolahraga ringan setidaknya 20 menit setiap harinya. Bagi usia produktif, penting sekali untuk tidak asal mengikuti tren kuliner kekinian. Mungkin terlihat menggiurkan namun potensi memicu proses peradangan dalam tubuh juga perlu menjadi pertimbangan.

Bagi penderita penyakit kronis dan autoimun, diet anti inflamasi tidak boleh dianggap sebagai obat. Kadang-kadang Anda hanya memiliki penyakit kronis yang mungkin berhubungan atau tidak berhubungan dengan apa yang Anda makan. Namun, dalam kondisi ini, makan lebih banyak makanan nabati dan anti inflamasi dapat meredakan proses peradangan dan mendukung kinerja terapi farmakologi. Artinya, resiko tidak sepenuhnya hilang namun diet ini membantu tubuh untuk mengelola peradangan dengan lebih baik. (M-010)