Dugaan Jual Beli Skripsi dan Transaksi Seks Ibarat Lorong Gelap di Bali

DENPASAR,MENITINI-Kasus dugaan jual beli skripsi yang berujung ke transaksi seksual terus menghangat di Bali. Kasus ini marak namun sulit untuk dibuktikan. Tak hanya di kampus perguruan tinggi swasta, informasi itu juga berhembus dari salah satu kampus negeri tersohor di Bali yang beberapa waktu lalu terekspos media bahwa puluhan mahasiswi menjadi korban pelecehan seksual.

Dugaan jual beli skripsi berawal dari bimbingan skripsi secara privat, yang kemudian menjurus pada pelecehan seksual hingga berujung ke transaksi ilegal itu.

Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti) Wilayah VIII Bali Nusra Prof. Dasi Astawa mengatakan, jual beli skripsi yang berujung pada transaksi dan pelecehan seksual menjadi lorong gelap di Bali yang sulit diungkapkan.

BACA JUGA:  Puluhan mahasiswa PMII Ambon Berunjuk Rasa, Minta Tindak Tegas Oknum Dosen Pelaku Dugaan Pelecehan Seksual

“Ini memang benar-benar lorong gelap yang sulit kita ungkapkan, apalagi membuktikannya. Mengapa? Karena korban tidak pernah melapor. Karena itu merupakan pola transaksi individu dengan individu. Need dan want bertemu dari kedua individu tersebut. Ini simbiosis mutualisme,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (7/1/2022).

Pola transaksi antarindividu ini terjadi dan bukan merupakan pabrikasi massal. Sehingga ini menjadi lorong gelap, kecuali korban melaporkan kepada pihak-pihak terkait.

Tokoh pendidikan Bali ini mengatakan, jika orang membuka biro jasa ketik skripsi,  jasa konsultasi skripsi maka hal ini tidak salah. Sebab mereka akan beralasan jika biro jasa tersebut hanya mengetik, merevisi tulisan sebelumnya.

“Orang buka jasa konsultasi, jasa pengetikan skripsi tidak bisa disalahkan. Yang salah adalah orang yang menggunakan jasa atau kesempatan itu untuk hal-hal yang tidak diinginkan. Ini sulit dideteksi, tetapi bisa diketahui atau bisa dideteksi bila ada plagiasi. Sebab similiarity itu dibolehkan hanya 20%. Bila lebih dari 20% maka itu adalah plagiat. Ini bisa dideteksi,” ujarnya.

BACA JUGA:  370 Mahasiswa dari 143 Kampus di Indonesia Berkumpul di Mataram, Ada Apa?

Sejauh ini, proses jual beli skripsi sampai berujung pada transaksi pelecehan seksual tidak pernah ada yang mengaku atau melapor. Awalnya konsultasi, kemudian sering bertemu. Kemudian ada komunikasi dan transaksi seksual disana. Korban jarang melapor karena ada need dan want disana. Sebab untuk melapor harus mengantongi minimal dua alat bukti.

“Trend ini sulit diungkapkan, transaksi seksual juga sulit diungkapkan, karena transaksinya berdua. Kecuali mereka melapor, terutama yang merasa korban. Namun kalau sudah ada need dan want, maka akan susah. Ibarat lorong gelap,” ujarnya. Dugaan jual beli skripsi itu marak tapi terjadi di lorong gelap. (M-006)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *