BANGLI,MENITINI.COM – Desa Adat Penglipuran di Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli, Bali kembali mencatatkan prestasi membanggakan di kancah nasional. Desa yang dikenal sebagai salah satu desa terbersih di dunia ini berhasil meraih penghargaan Kalpataru Lestari 2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Penghargaan diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, pada puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar di Pantai Kuta, Bali, Kamis (5/6/2025).
Kalpataru Lestari merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada individu atau komunitas yang telah menerima Kalpataru sebelumnya dan terus menunjukkan komitmen luar biasa dalam menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Desa Penglipuran sendiri pertama kali menerima Kalpataru pada tahun 1995 dalam kategori Penyelamat Lingkungan, dan sejak itu terus konsisten menjalankan prinsip-prinsip pelestarian berbasis kearifan lokal.
Bendesa Adat Penglipuran, I Wayan Budiarta, membenarkan capaian ini saat dikonfirmasi pada Senin (9/6). Menurutnya, penghargaan ini merupakan cerminan filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung tinggi keseimbangan antara manusia dan alam.
“Ini adalah penghargaan kolektif untuk masyarakat Bali yang setia menjaga kearifan lokal sebagai benteng pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Manager Desa Wisata Penglipuran, Wayan Sumiarsa, menegaskan bahwa penghargaan Kalpataru Lestari membuktikan bahwa desa wisata bisa berkembang tanpa harus mengorbankan kelestarian alam.
“Kami memilih mempertahankan nilai-nilai adat dan prinsip keberlanjutan, dibanding mengejar ekspansi wisata massal. Bagi kami, keberlanjutan bukan sekadar slogan, tapi gaya hidup yang dijaga bersama,” jelasnya.
Salah satu contoh nyata komitmen tersebut adalah pelestarian hutan bambu seluas 75 hektare yang menjadi bagian tak terpisahkan dari desa. Kawasan ini tidak hanya dianggap sakral, tetapi juga dijaga ketat dengan aturan adat. Pemanfaatannya dibatasi secara kolektif demi menjaga kualitas tanah, cadangan air, dan penyerapan karbon.
“Kami juga menerapkan zona bebas kendaraan bermotor. Wisatawan yang datang wajib berjalan kaki agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga,” tambahnya.
Tak hanya menjadi destinasi wisata, Desa Penglipuran juga mengukuhkan diri sebagai pusat edukasi lingkungan berbasis budaya. Desa ini terbuka sebagai ruang belajar bagi pelajar, peneliti, hingga pengambil kebijakan. Praktik sehari-hari masyarakat, seperti pengelolaan sampah dan pelestarian hutan, menjadi laboratorium hidup yang dapat direplikasi di tempat lain.
“Kami aktif berkolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat, universitas, lembaga penelitian, komunitas pemuda, hingga organisasi lingkungan,” tandas Sumiarsa.
Dengan prestasi ini, Desa Penglipuran tidak hanya memperkuat posisinya sebagai ikon pariwisata berkelanjutan, tetapi juga sebagai pelopor desa adat yang mampu merawat harmoni antara manusia, alam, dan budaya dalam satu tarikan napas kehidupan.*
- Editor: Daton