Amandemen UUD 1945  Ciptakan Masalah, Kembalikan Marwah MPR sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat

Denpasar Seminar Kebangsaan
Dari Kiri ke kanan : Prof. Dr.Gde Pantja Astawa,  Dr. Muhammad Rullyandi, Agus Widjajanto. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, MENITINI.COM – Reformasi, tidak membawa  Bangsa dan Negara ini menjadi lebih baik. Amandemen UUD 1945 sampai empat kali justru menciptakan permasalahan silih berganti.



Bangsa ini  hanya berkutat pada konflik politik yang tiada henti. Salah satu implikasi dari amandemen adalah perubahan beberapa Pasal dari UUD 1945.    



Akademisi Hukum Tata Negara, Dr. Muhammad Rullyandi, SH., MH menyatakan, perubahan pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 telah mengubah posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.



Implikasi dari perubahan tersebut sangat nyata dirasakan masyarakat yakni tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan.  


Dosen Fakultas Hukum Universitas Jayabaya ini mengatakan, tidak terkendalinya keputusan politik negara, tampak dari kebijakan yang seharusnya berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum, namun belakangan lebih menekankan pada asas permusyawaratan.

“Realitasnya justru lebih mengarah pada praktek demokrasi yang liberal dan pragmatisme politik, praktek-praktek yang sejatinya tidak sejalan dengan gagasan para pendiri negara,” katanya dalam seminar bertema “Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat” yang diselenggarakan Yayasan Caritas Merah Putih, di Jakarta, Kamis, 6 Februari 2025.  

BACA JUGA:  Rapat Paripurna Setujui RUU KUHAP Jadi RUU Inisiatif DPR RI


Rullyandi mengusulkan agar perubahan terhadap UUD 1945 perlu dipertimbangkan kembali untuk memperkuat peran dan kedudukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.



“UUD 1945 itu ibarat rumah Bangsa dengan beberapa pasal sebagai penyangga sebagai pilar atau tonggak utama. Bila ingin melakukan perubahan, bukannya merobohkan pilar utama sebagai penyangga rumah tersebut,” ungkap Rullyandi.



Pernyataan keras dan menohok disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa.


“Amandemen UUD 1945 membuat Bangsa ini tidak jelas, kehilangan arah” tegas Guru Besar dari Universitas Padjajaran Bandung ini.  



Menurut Prof. Pantja Astawa, salah satu tugas MPR adalah menetapkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai pedoman  dan arah bagi Presiden sebagai penyelenggara Pemerintahan.    

“Dihapuskannya atau dilakukan amandemen  wewenang MPR dalam menetapkan GBHN menyebabkan Negara ini tidak memiliki cetak biru, blue print,  di dalam membangun Negara sehingga arah dan tujuan Negara pun tidak jelas,” kata Pantja Astawa.  

BACA JUGA:  DPR Sebut Putusan MK terkait Presidential Threshold adalah Final dan Mengikat

Guru Besar yang berasal dari Denpasar ini menyoroti beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diamandemen diantaranya, Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.  



Ketentuan tersebut menegaskan bahwa salah satu pilar utama Negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat. Sehingga, secara harfiah, menurut Pantja Astawa, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

Pada Pasal 2 Ayat (1), disebutkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan sesuai dengan aturan masing-masing”.  


Pasal ini mengatur susunan MPR yang mencerminkan perpaduan antara representasi politik yang diwakili oleh DPR dan representasi fungsional yang diwakili oleh Utusan Daerah dan Utusan Golongan.  

BACA JUGA:  Hakim Tolak Praperadilan, Hasto Siap Hadapi Proses Hukum

Oleh karena itu, susunan keanggotaan MPR ini seharusnya menjadi cerminan dari suara rakyat.

 

“Utusan Daerah jauh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN, daripada kedudukan dan kewenangan yang dimiliki DPD sekarang yang nyaris tidak jelas kinerjanya. ” ungkapnya.

Lebih lanjut dikatakan, Pasal 6 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ‘Presiden adalah orang Indonesia asli,’ menurut Guru Besar Hukum Tata Negara senior ini, ketentuan tersebut mengandung prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan.  

Kendati setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Presiden, tidak semua warga negara memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan tersebut, terutama jika mereka bukan orang Indonesia asli.

Sementara praktisi hukum, Agus Widjajanto, SH., MH., mengatakan bahwa elit politik tidak mengerti sejarah ketika melakukan amandemen UUD 1945.

“Elit politik tidak memahami dengan baik sejarah pembentukan desain negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,” tegas Agus. M-003

  • Editor: Daton

BERITA TERKINI

Indeks>>

PT. BADU GRAFIKA MANDIRI

Jalan Gatot Subroto 2 No. 11 A, Banjar Lumbung Sari, Desa Dangin Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara

Ikuti Kami