2023 Berpotensi Menjadi Tahun Terpanas, Mitigasi Perubahan Iklim Harus Dimasifkan

YOGYAKARTA,MENITINI.COM– Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia, fenomena heatwave terjadi di banyak tempat secara bersamaan. Hal ini adalah fakta nyata bagaimana dampak perubahan iklim telah dirasakan oleh setiap manusia di belahan negara manapun.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut tahun 2023 sangat berpotensi menjadi tahun dengan temparatur terpanas sepanjang sejarah. Hal itu dapat dibuktikan dengan suhu permukaan di beberapa tempat di dunia yang mencapai suhu di atas 40°C.

“Sebelumnya rekor tahun terpanas adalah pada 2016 saat terjadi El Nino namun 2023 memecahkan rekor sebagai tahun terpanas,” kata Dwikorita dalam acara Seminar Nasional Eco Infrastructure Festival 7th Creation 2023 di Ballroom TILC SV Universitas Gadjah Mada (UGM), Minggu (19/11/2023).

Berdasarkan data yang dihimpun dari World Meteorological Organization (WMO), Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Sebagai contoh, pada Juli tahun ini wilayah Sardinia, italia suhunya mencapai 48 °C, Rhodes, Yunani 49 °C, dan Maroko serta Afrika Utara suhunya mencapai > 47 °C. Sementara itu, Amerika Serikat tercatat mencapai suhu maksimal 53 °C dan selama 31 hari berurutan mencapai suhu > 43°C.

BACA JUGA:  Pemkab Gianyar Tandatangani MoU Smart City dengan Kemenkominfo

“Yang sangat mencemaskan di Bolivia saat winter di Agustus suhunya mencapai 45°C. Ini realita dengan pengolahan data yang diukur langsung dan dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya.

Lantas bagaimana di Indonesia? Secara umum, Indonesia turut merasakan dampak menghangatnya suhu bumi dalam lima bulan yang dimulai sejak Juni hingga Oktober. Namun, berdasarkan data BMKG, suhu maksimum di Indonesia pada periode tersebut mencapai 38 °C. Hal ini disebabkan karena 60% luas area Indonesia adalah laut dengan atmosfer yang relatif lembap, sehingga menjadi penyangga kenaikan temperatur.

Namun bukan berarti masyarakat Indonesia bisa tenang-tenang dalam menghadapi perubahan iklim. Dampak perubahan iklim seyogianya sangat bisa dirasakan pada hari-hari ini. Fenomena El Nino yang terjadi pada beberapa bulan terakhir mengakibatkan musim kemarau lebih kering dari biasanya. Akibatnya, kekeringan terjadi di banyak wilayah Indonesia.

Menurut Dwikorita, akibat perubahan iklim, secara global akan mengakibatkan zona-zona global water hotspot atau zona kekeringan. Artinya perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka menghasilkan apa yang dikenal sebagai water hotspot.

BACA JUGA:  Kajati Bali: Perlunya Kepekaan Terhadap Kerusakan Lingkungan Akibat Prilaku Koruptif

Jika ditelaah lebih dalam, potensi water hotspot di Indonesia tidak akan separah wilayah negara lain karena pada dasarnya Indonesia memiliki luas lautan yang sangat cukup. Namun, perlu dipahami sumber daya kehidupan masyarakat Indonesia mayoritas berada di darat dan bukan di laut. Sehingga hal ini perlu diantisipasi secara matang.

Hal ini berkorelasi karena akibat terciptanya water hotspot akan berpengaruh pada ketahanan pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksi pada pertengahan abad ini atau saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi krisis pangan di mana lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

“Kita harus mulai berpikir bagaimana sumber daya kehidupan itu lebih banyak di laut karena relatif kurang terdampak. Kalau di darat semakin merah, semakin oranye seperti saat ini berarti kerentanannya cukup tinggi,” kata Dwikorita.

Di hadapan puluhan orang peserta seminar civitas akademika UGM, Dwikorita menjelaskan saat ini pemerintah sedang menyusun Instruksi Presiden (Inpres) kebijakan Indonesia untuk rencana pembangunan jangka panjang sehingga diproyeksikan sampai Indonesia emas harus berkorelasi dengan kebijakan ketahanan iklim dan bencana.

BACA JUGA:  Sekda Badung Akui Ada Kawasan Kumuh di Kabupaten Badung

Sehingga peran BMKG dalam hal ini adalah melakukan monitoring secara nasional dan global. Tujuannya, memberikan informasi pengetahuan dan kearifan agar masyarakat Indonesia bisa beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim.

Adaptasi sendiri memiliki makna menyesuaikan seperti dengan informasi iklim dan cuaca yang di keluarkan BMKG dapat menjadi rujukan para petani dalam memulai musim tanam dan musim panennya. Perlu diingat, prakiraan musim saat ini sudah tidak lagi dapat dipastikan karena terus mengalami pergeseran akibat perubahan iklim.

Contoh adapatasi petani ialah ketika musim kemarau tiba maka bibit tanaman yang ditanam adalah yang cocok dengan musim kemarau begitupun sebaliknya pada saat musim hujan. Mitigasi lainnya adalah dengan memanen air hujan pada saat musim hujan tiba dan bisa digunakan pada saat musim kemarau tiba.

“Mitigasi juga penting adalah menekan laju kenaikan suhu. Artinya ditekan tidak lebih dari 1,5 °C Tujuannya agar dampak bencana dan kekeringan bisa diminimalisir. Caranya, mengurangi produksi gas rumah kaca,” pungkasnya.

  • Sumber: BMKG
  • Editor: Daton