Rabu, 9 Oktober, 2024

Sikap Demokratis Firli Bahuri VS Dramaturgi YLBHI dengan Konten Fiksi Pembatasan HAM 75 Pegawai KPK ke Komnas HAM

Petrus Salestinus

Oleh : Petrus Salestinus

MENITINI.COM YLBHI bersama 75 Pegawai KPK nonaktif, telah menyampaikan Laporan atau Pengaduan tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pimpinan KPK terkait 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan pasca tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Senin, 24 Mei 2021, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat. 

Dalam laporan itu, YLBHI dan 75 Pegawai KPK nonaktif, telah merumuskan  ada 8 (delapan) poin yang dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM berupa pembatasan HAM, yang diduga telah dilakukan oleh Pimpinan KPK, Firli Bahuri dkk. terkait penonaktifan 75 Pegawai KPK yang tidak lulus TWK, yang saat ini jadi perbincangan publik.

Langkah YLBHI patut disesalkan, karena YLBHI, justru terjebak sebagai “sutradara” sedangkan 75 Pegawai KPK nonaktif sebagai “aktor” dalam dramaturgi politisasi hukum, karena apa yang dilakukan YLBHI tidak “conform” dengan visi dan misi YLBHI sebagai lokomotif Demokrasi dan Ham, karena YLBHI mengesampingkan konstitusinalitas “pembatasan HAM” yang dipersoalkan 75 Pegawai nonaktif KPKl (pasal 28J UUD 45) sebagai pelanggaran Ham. 

DRAMATURGI YLBHI DAN KOMNAS HAM

Sebagai “lokomotif demokrasi dan HAM”, maka langkah Asfinawati membawa YLBHI dalam kasus penonaktifan 75 Pegawai KPK ke Komnas HAM dengan dasar terjadi Pembatasan HAM, jelas hanya sebagai  dramaturgi dan langkah sesat. YLBHI seharusnya tahu bahwa prinsip negara hukum yang demokratis dimanapun adalah “setiap warga negara harus tunduk pada pembatasan HAM oleh UU demi menjamin HAM orang lain.

Artinya tidak ada seorangpun warga negara, dapat seenaknya menggunakan 100% HAM-nya, melainkan ia harus tunduk pada pembatasan Ham oleh UUD 45 dan UU. Konstitusionalitas Pembatasan HAM seseorang diatur dalam pasal 28J UUD 45, dengan tujuan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Untuk itu Firli Bahuri dkk. tidak serta merta melakukan penonaktifan terhadap 75 Pegawai KPK nonaktif, melainkan harus menunggu 2 tahun membenahi Pegawai KPK sesuai ketentuan peralihan UU KPK. Oleh karena itu sikap cengeng 75 Pegawai KPK nonaktif, karena tidak lolos TWK, sebagai fenomena yang aneh, apalagi membiarkan dirinya dipolitisasi dan dijadikan sebagai alat bargaining oknum-oknum tertentu, seolah-olah negeri ini tidak ada hukum. Ini menjadi preseden buruk dalam tatakelola Pemerintahan.

DELAPAN POINT FIKSI PELANGGARAN HAM.

Dramaturgi YLBHI membawa kasus 75 Pegawai KPK nonaktif ke Komnas Ham, patut disesalkan, karena YLBHI mau saja diperalat atau ditunggangi oleh 75 Pegawai KPK nonaktif atau sebaliknya YLBHI mau saja mengatasnamakan HAM, menunggangi 75 Pegawai KPK nonaktif, dengan 8 point fiksi yang diklaim sebagai Pelanggaran Ham. 

Apa yang dilakukan Firli Bahuri dkk. sebagai konsekuensi logis dari perintah UU No. 19 Tahun 2019, Tentang KPK pasca uji materiil UU KPK oleh MK. Karena itu sikap YLBHI, harus dipandang sebagai telah keluar dari visi dan misi besar YLBHI, mengabaikan aspek Edukasi. YLBHI justru mengedepankan isu-isu fiksi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran serta memelintir substansi HAM ke publik, demi mempertahankkan statusquo di KPK.

Lebih janggal, YLBHI bersikap ambivalen, di satu sisi menyatakan adanya pelanggaran terhadap hak untuk berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat dll. terhadap 75 Pegawai KPK non aktif, tetapi pada bagian lain pernyataannya, justru YLBHI mengungkap bagaimana 75 Pegawai KPK nonaktif, leluasa menandatangani petisi menolak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK, melakukan perlawanan secara terbuka terhadap kebijakan Pimpinan KPK, mengajukan uji materiil UU KPK ke MK dll. tanpa Firli Bahuri dkk melarangnya.

Ini realitas bahwa di era Firli Bahuri-pun seluruh Pegawai KPK tetap mendapatkan kebebasan berekspresi, melawan kebijakan Pimpinan KPK, dan kebebasan ikut serta sebagai Pemohon Uji Materiil UU KPK ke MK. Ini ciri kepemimpinan Firli Bahuri yang sangat demokratis yang tidak ditemukan pada pada Institusi Negara manapun di negeri ini, dengan menyerahkan persoalan pengalihan Pegawai KPK pada mekanisme UU KPK dan UU ASN. **

Penulis, Kordinator TPDI dan Advokat Peradi