Sabtu, 9 November, 2024

Menelusur Jejak Gadis Kretek di Jalur Ambarawa-Tuntang

Menelusur Jejak Gadis Kretek (source: Netflix)

DENPASAR, MENITINI.COM – Sudah sepekan sejak Gadis Kretek meluncur di kanal Netflix. Kembalinya Dian Sastro sebagai karakter Jeng Yah yang tangguh membuat Gadis Kretek masih bertengger manis dalam jajaran Top 10. Selain itu, serial pendek ini juga memanjakan dengan kehadiran visual vintage Pulau Jawa berkalung besi. Kehadiran romansa kereta lokomotif diesel menjadi primadona tersendiri bagi penontonnya, apalagi pemerhati wisata.

Tidak hanya sekedar set untuk serial, ternyata jalur lokomotif ini masih aktif dan bisa kita kunjungi. Kali ini redaksi berkesempatan untuk menelusuri jejak romansa Jeng Yah dan Raja secara langsung di Kota M.  Ya, bagi yang sudah familiar, set stasiun Kota M berada di Stasiun Tuntang. Bagi gen Z yang belum famliar, Stasiun Tuntang sendiri adalah jalur relasi dari KA Wisata Museum Kereta Ambarawa. Sebelum makin penasaran, simak fakta berikut!

Kenalan dengan Museum Kereta Ambarawa

Tak kenal maka tak sayang. Sebelum kita memasuki set stasiun Kota M alias Stasiun Tuntang, kita perlu berkenalan dengan Museum Kereta Api Ambarawa. Untuk mempertahankan otentisitasnya, stasiun ini masih mempertahankan nama aslinya yaitu Stasiun Willem I. Stasiun ini berdiri pada masa pendudukan Belandapada tanggal 21 Mei 1873 bersamaan pembukaan lintas  Kedungjati-Ambarawa.

Melansir dari KAI, tujuan utama pembangunan relasi ini untuk mengontrol aktivitas militer area Magelang-Semarang. Nama Willem I berasal dari nama Benteng Willem I yang lokasinya berdekatan dengan stasiun. Setelah kemerdekaan, banyak yang mulai meninggalkan rute kereta api ini sehingga terpaksa non aktif mulai tahun 1976 dan beralih fungsi sebagai Museum Kereta Api. Stasiun Ambarawa dipilih karena Ambarawa memiliki latar belakang historis yang kuat dan konservasi teknologi kuno yang apik.

Saat redaksi berkunjung, terdapat koleksi 26 Lokomotif Uap, 4 Lokomotif Diesel, 5 Kereta dan 6 Gerbong dari berbagai daerah dengan berbagai bentuk. Jika saat ini yang membedakan kelas gerbong adalah jenis kursinya, zaman dahulu bahkan jenis rangkaian gerbongnya juga berbeda. Selain itu Anda berkesempatan menaiki salah satu yang masih aktif lho!

Stasiun Tuntang dan Romansa Gadis Kretek

Seperti yang redaksi singgung di awal, Stasiun Tuntang adalah set stasiun Kota M. Bukan hanya tafsiran saja, namun sudah terbukti melalui kecocokan desain Chalet NIS khas desain stasiun Hindia-Belanda awal abad 20. Saat ini hanya satu stasiun dengan desain Chalet NIS yang masih beroperasi dan belum melalui perombakan, yaitu Stasiun Tuntang.

Pemilihan Stasiun Tuntang dalam Gadis Kretek sendiri bukan tanpa alasan. Pertama, desain rancang bangun Chalet NIS  dan kombinasi ukiran ornamen Jawa yang membawa unsur romantis, memperkuat adegan yang ingin ditampilkan antara Jeng Yah dan Raja. Kedua, lokasi stasiun Tuntang yang berdekatan dengan pasar dan kompleks peninggalan aristrokrat Hindia-Belanda memvalidasi kondisi sosial serial Gadis Kretek. Alasan ketiga, Stasiun Tuntang adalah perhentian yang berhasil dikonservasi dengan apik dan masih aktif melayani relasi lokomotif vintage dari stasiun Ambarawa.

Menjajal Kereta Wisata Ambarawa-Tuntang

Kereta wisata Ambarawa-Tuntang bukan hanya menyuguhkan visual kereta kosong yang berjalan melalui rel. Kita bisa menaiki kereta ini dan turut merasakan bagaimana priyayi nya Raja dan Jeng Yah saat itu sebagai pemilik usaha kretek. Zaman tersebut, berkesempatan menaiki salah satu gerbong ini adalah privilege karena biayanya cukup mahal walau kecepatan maksimalnya hanya 45km/jam. Namun, selama perjalanan satu jam kita disuguhi pemandangan Rawa Pening, Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo yang saling berpadu mesra.

Meski bukan priyayi, kita sekarang dapat menjajal romansa Jeng Yah bersama 115 penumpang lainnya hanya dengan Rp100.000 saja dan dengan jadwal 4 kali sehari. Selain pemandangan alam, perjalanan ini akan berhenti selama 7 menit di Stasiun Tuntang untuk pergantian kepala lokomotif. Banyak dari kita yang mengira pergantian kepala hanya tinggal berganti komando depan dan belakang. Ternyata pada rangkaian diesel klasik, kepala lokomotif lah yang harus berputar manual dan kembali dipasang manual oleh petugas. Di Stasiun Tuntang juga dipajang sistem persinyalan tebeng buatan Belanda yang masih terawat dengan baik. (M-010)