Komisi XIDPR RI Pastikan KUR bagi Pengusaha Mikro Diberikan Tanpa Agunan

JAKARTA,MENITINI.COM-Kredit usaha Rakyat (KUR) yang masuk kriteria pinjaman dengan nominal Rp25 juta kebawah bagi pengusaha mikro yang semestinya dapat diberikan tanpa memerlukan agunan, namun pada praktiknya masih ditemui pelaksanaan yang berbeda dari aturan yang telah disepakati.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI M. Amir Uskara di sela-sela agenda Kunjungan Kerja Komisi XI DPR RI ke Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (2/3/2023).

“Terkait dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) memang ada beberapa hal yang sering menjadi hambatan di lapangan yang tidak sesuai dengan apa yang telah kita sepakati, terutama KUR bagi pengusaha mikro yang harusnya tanpa agunan ini masih dibebankan oleh perbankan tingkat bawah untuk menyiapkan agunan. (Persoalan) KUR untuk pengusaha mikro ini juga banyak kami dapatkan selama kami keliling diseluruh daerah di Indonesia, dimana ternyata KUR ini masih belum mencapai dari apa yang kita harapkan,” ucap Amir Uskara seperti dikutip Parlementaria, Senin(6/3/2023).

Padahal, lanjut Amir, keberadaan KUR untuk usaha mikro ini ditujukan agar dapat menambah UMKM baru yang diharapkan bisa menggerakkan ekonomi di daerah masing-masing. “Untuk KUR – KUR yang ada saat ini juga kami soroti karena ternyata banyak penerima KUR itu bergulir di satu UMKM saja, dimana seharusnya KUR itu menyebar ke tempat lain.

BACA JUGA:  Jokowi Tinjau Panen Jagung di Boalemo

Hal itu mungkin perbankan ingin bermain aman terhadap dana KUR itu, sehingga mereka gulirkan di tempat yang sama. Ini juga saya kira kurang maksimal karena yang kita harapkan KUR ini betul-betul bisa menyebar secara maksimal ke UMKM – UMKM yang ada di seluruh Indonesia sehingga mereka bisa bergerak dengan bebas untuk bisa meningkatkan usaha mereka,” tandas Politisi PPP itu.

Dikatakannya, terkait Kredit Usaha Rakyat ini sebenarnya sudah disepakati bahwa ada jaminan dari pihak asuransi yakni Jamkrindo dan Askrindo. Beban bank sebenarnya hanya 30 persen dari beban yang ada. Artinya jika ada keterlambatan atau masalah terkait dengan pembiayaan KUR ini sebenarnya porsi beban bank hanya 30 persen, sedangkan yang lainnya sudah dijamin oleh asuransi.

BACA JUGA:  DPR dan Perangkat Desa Sepakat Hormati Proses Revisi UU Desa

“Oleh karenanya hal ini perlu kita dorong agar perbankan bisa memaksimalkan. Jangan terkesan hanya ingin bersikap aman dari pihak perbankannya. Yang kita harapkan adalah bagaimana KUR ini betul-betul bisa menggerakkan ekonomi masyarakat dari sisi UMKM yang tersebar di seluruh daerah,” kata Amir.

Ia menilai, persoalan mekanisme perbankan terkait masalah KUR haruslah dipermudah. KUR tidak bisa disamakan dengan kredit komersil karena memang berbeda dari sisi pembebanannya. “Padahal pemerintah menggelontorkan dana KUR ini semata untuk kepentingan menggerakkan ekonomi masyarakat. Harus ada perbedaan mekanisme administrasi antara pemohon KUR dan pemohon kredit komersil,” tegasnya.

Sementara menyangkut masalah inflasi, Amir menyatakan, di beberapa daerah yang ada, kerjasama antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penanggulangan inflasi ini sudah berjalan lancar. “Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang ada di beberapa daerah yang sudah berjalan, saya kira bisa mengendalikan inflasinya. Di daerah-daerah yang kami datangi yang TPID nya lengkap terbentuk diseluruh provinsi dan kabupaten/kota, inflasinya lebih terkendali dibandingkan dengan daerah yang belum membentuk TPID-nya. Karena TPID dengan koordinasi yang dilakukan bisa saling mengisi,” tuturnya.

BACA JUGA:  Ny. Candrawati Tamba Dampingi Pj. Ketua Dekranasda Bali Mengunjungi Pengerajin IKM Jembrana 

Ia mengatakan, terkadang persoalan inflasi hanyalah persoalan distribusi bukan karena tidak adanya barang. Oleh karenanya yang diperlukan adalah distribusi dan koordinasi antara para pemimpin daerah yang menjadi provinsi produsen dengan provinsi konsumen.

“Hal inilah yang perlu ditingkatkan. Kami melihat bahwa TPID yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah bersama Bank Indonesia ini sangat efektif. Tinggal bagaimana supaya komunikasi dan kerjasama antara provinsi produsen dan provinsi konsumen ini bisa ditingkatkan,” ujarnya.

Namun demikian Amir juga mengakui bahwa untuk momen-momen tertentu seperti menjelang Ramadhan memang harus ada intervensi pemerintah khususnya menyangkut suplai barang pangan. “Jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang bermain melakukan penimbunan untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi atau personal terhadap komoditi tersebut,” pungkasnya. (M-003)

  • Sumber: Parlementaria
  • Editor: Daton