DENPASAR,MENITINI.COM-Ratusan penonton Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII dibuat takjub saat menyaksikan pertunjukan drama tari Arja Klasik yang dibawakan oleh Sanggar Citta Usadhi dari Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Mengwi, Badung. Pementasan yang digelar di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Art Centre Denpasar, Selasa (24/6) malam itu mengangkat lakon berjudul Sirnaning Dirada Sungsang.
Naskah drama tari tersebut digarap langsung oleh pemimpin sanggar sekaligus guru besar ISI Denpasar, Prof. Dr. Desak Made Suarti Laksmi bersama suaminya, I Nyoman Cakra. Cerita berfokus pada sosok Made Umbara yang berhasil memenangkan sayembara dengan mengalahkan raksasa Dirada Sungsang demi menyelamatkan dan merebut hati sang putri, Rahaden Galuh.
Dalam kisahnya, Rahaden Galuh awalnya dijadikan tumbal oleh Ratu Prameswari dari Keraton Kastila Manik Ratna untuk Raksasa Dirada Sungsang. Beruntung, sang raksasa belum sempat memangsa Galuh, bahkan menyisakan makanan untuknya. Dalam keputusasaan, Galuh berdoa agar Tuhan mengirimkan malaikat penolong. Ia berikrar, jika penolongnya seorang wanita, ia akan menjadi saudara sehidup sematinya. Namun jika lelaki yang datang, ia bersedia mengabdikan diri sepenuh hati.
Sementara itu, Made Umbara yang telah beranjak dewasa, mendapat wejangan dari gurunya, Ki Dukuh, untuk mencari pasangan hidup. Ia kemudian diperintahkan menyelamatkan Rahaden Galuh dengan cara menumpas Dirada Sungsang yang bersemayam di Kawah Gohmaya Cambra, Gili Parang Gamping.
Pertarungan sengit pun terjadi, hingga akhirnya Made Umbara berhasil membunuh raksasa dengan bantuan taring permata dari kalung Rahaden Galuh yang bernama Motiwirasadi. Ternyata, sang raksasa adalah wujud kutukan seorang Gandarwa yang harus ditebus di dunia fana. Sebelum kembali ke kahyangan, ia sempat mengucapkan terima kasih karena telah dibebaskan.
Namun dalam perjalanan kembali ke Swarnakaradwipa, Made Umbara dihadang oleh Prabu Gilingwesi. Terjadi pertempuran karena sang prabu mengklaim telah membunuh raksasa dan merebut putri sebagai bukti kemenangan. Saat dihadapkan pada Ratu Prameswari, Galuh membongkar kebenaran bahwa pembunuh raksasa bukanlah Prabu Gilingwesi. Ia menantang untuk diadakan perang tanding terbuka di hadapan rakyat.
Hasilnya, terbukti bahwa Prabu Gilingwesi bukanlah pahlawan yang sebenarnya. Dalam duel yang berlangsung di Kastila Manik Ratna, Made Umbara—yang sesungguhnya adalah Rahaden Anindita Kirtana, keturunan Prabu Kenakadwipa—berhasil mengalahkan sang prabu yang pongah.
Menurut Prof. Dr. Desak Made Suarti Laksmi, cerita ini sarat akan nilai-nilai kejujuran, cinta, pengabdian, hingga kepahlawanan. “Pesannya adalah bahwa kejujuran sangat penting dalam kehidupan. Dari kejujuran, masa depan bangsa bisa mencapai kemuliaan. Di zaman sekarang, sulit membedakan mana yang benar, karena semua mengaku jujur. Maka kita semua harus waspada,” ujarnya.
Ia menambahkan, persiapan pementasan telah dilakukan sejak awal September 2024. Sekitar 30 seniman terlibat, sebagian besar merupakan seniman muda, bahkan ada yang baru lulus sekolah dasar. “Karena banyak pemula, kami mulai latihan dari jauh-jauh hari,” ungkapnya.*
- Editor: Daton