logo-menitini

Bitcoin Anjlok di Bawah $108.000, Simak Penyebab dan Potensi Rebound

BITCOIN

JAKARTA,MENITINI.COM – Harga Bitcoin kembali merosot tajam di bawah $108.000 menjelang akhir pekan ini, memperpanjang tekanan jual di pasar kripto meski emas dan
perak mencetak rekor harga tertinggi baru.

Merespon kondisi tersebut, Fahmi Almuttaqin, Analyst Reku menilai pengetatan likuiditas di sistem keuangan Amerika Serikat dan kekhawatiran terkait meningkatnya ketegangan perang dagang China-AS menjadi faktor utama di balik melemahnya performa aset berisiko
tinggi saat ini.

“Bitcoin sempat jatuh hingga di kisaran $107.900 siang ini (17/10), turun 2% lebih dalam 24 jam terakhir. Aset kripto lain seperti Ethereum (ETH), XRP, dan Solana (SOL) terkoreksi lebih dalam, dengan Solana mengalami penurunan terdalam, anjlok lebih dari 4% dalam 24 jam terakhir. Sementara itu, emas dan perak melonjak 3% lebih, menunjukkan kuatnya permintaan terhadap aset lindung nilai (safe haven) di tengah kekhawatiran pasar saat ini. Meski The Fed telah memangkas suku bunga pada September lalu, sejumlah indikator
menunjukkan kondisi likuiditas di pasar keuangan AS justru mengetat,” jelas Fahmi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/10).

BACA JUGA:  Prabowo Tegaskan Pentingnya Kemandirian Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja

Data dari TradingView mencatat selisih antara Secured Overnight Financing Rate (SOFR) dan Effective Federal Funds Rate (EFFR) melonjak menjadi 0,19 poin dari sebelumnya 0,02 poin dalam sepekan ini, tertinggi sejak Desember 2024.

“Kenaikan selisih ini menandakan
biaya pendanaan antar bank yang meningkat, bahkan untuk pinjaman yang dijamin dengan surat utang pemerintah AS (U.S. Treasuries),” imbuhnya.

Sinyal pengetatan juga tampak dari meningkatnya penggunaan Standing Repo Facility (SRF) milik The Fed. Pada Rabu (15/10), bank-bank komersial menarik dana sebesar $6,75
miliar dari SRF, level tertinggi sejak akhir pandemi COVID-19 (di luar periode pelaporan kuartalan).

SRF adalah fasilitas likuiditas darurat yang memungkinkan bank meminjam dana jangka sangat pendek (overnight) dengan jaminan obligasi pemerintah AS. Lonjakan permintaan
terhadap SRF biasanya mencerminkan ketegangan di pasar pendanaan antar bank. Data ini
dapat dikonfirmasi melalui rilis mingguan Federal Reserve Statistical Release H.4.1.

“Pemangkasan suku bunga oleh The Fed belum diikuti oleh perluasan neraca (balance sheet expansion). Data FRED menunjukkan total aset bank sentral (WALCL) per 16 Oktober
2025 tercatat $6,59 triliun, masih jauh di bawah puncak pandemi sekitar US$9 triliun,” ujar Fahmi.

BACA JUGA:  Inflasi AS Juli Lebih Rendah dari Perkiraan, Bitcoin dan Saham AS Menguat

Selain itu, saldo Treasury General Account (TGA) di The Fed tetap tinggi di kisaran $800 miliar, menandakan pemerintah AS masih menarik dana dari pasar lewat penerbitan obligasi, bukan menambah likuiditas bersih ke sistem perbankan.

“Kombinasi dari neraca Fed yang stagnan, tingginya TGA, dan spread SOFR-EFFR yang melebar menciptakan lingkungan finansial yang lebih ketat dan mendorong investor mengurangi eksposur pada aset berisiko seperti kripto dan saham teknologi, dan menambah eksposur di aset safe haven seperti emas,” tambahnya.

Secara historis, kinerja Bitcoin cukup berkorelasi dengan ketersediaan likuiditas global. Saat suku bunga menurun tanpa ekspansi neraca The Fed, harga Bitcoin cenderung tertahan
karena arus dolar ke pasar aset berisiko belum mengalir, terlepas dari kondisi keseluruhan yang masih bullish.

“Di tengah tekanan ini, The Fed bisa kembali melonggarkan kebijakan jika tekanan pendanaan makin berat. Jika langkah itu benar terjadi, Bitcoin berpotensi rebound ke kisaran $120.000 – 130.000 di sisa tahun ini, selama data inflasi dan kondisi sistem
keuangan mendukung. Selain itu, optimisme para pelaku pasar kripto terbilang masih cukup kuat dengan tren akumulasi baik di BTC maupun ETH yang masih cukup solid seiring
dengan berkembangnya naratif DATs (Digital Asset Treasuries),” kata Fahmi.

BACA JUGA:  Presiden Prabowo Tegaskan Pasal 33 UUD 1945 Jadi Fondasi Ekonomi Nasional

Investor jangka panjang dapat memanfaatkan momentum pelemahan yang ada untuk mengakumulasi aset crypto dengan fundamental kuat atau crypto blue chip seperti Bitcoin dan Ethereum.

“Saat ini pun, investor juga bisa mengoptimalkan Dollar Cost Averaging (DCA) dengan fitur
yang memudahkan berinvestasi crypto blue chip dalam sekali swipe, melalui fitur Packs di Reku. Terlebih, fitur Packs yang dilengkapi dengan sistem Rebalancing akan membantu
investor menyesuaikan alokasi investasinya sesuai dengan kondisi pasar secara otomatis.

Dengan begitu, strategi DCA yang dilakukan dapat lebih mudah, praktis, dan optimal. Strategi DCA ini juga masih relevan untuk dijalankan khususnya mengingat potensi
terciptanya level harga tertinggi baru bagi Bitcoin dan Ethereum masih cukup terbuka jika pelonggaran moneter AS terjadi,” jelasnya.*

  • Editor:
  • Daton
Iklan

BERITA TERKINI

OLAHRAGA

PERISTIWA

NASIONAL

DAERAH

HUKUM

POLITIK

LINGKUNGAN

Di Balik Foto

BERITA TERKINI

Indeks>>

Menitini.com adalah portal berita yang menyajikan informasi terkini seputar Bali dan Indonesia. Kami menghadirkan berita-berita Lingkungan, Pariwisata, nasional, politik, ekonomi, olahraga, pariwisata, hingga isu lokal Bali secara cepat, akurat, secara elegan, berimbang dan antihoax. 

Alamat Redaksi:

Jalan Gatot Subroto 2 No. 11A Denpasar, Bali

Telepon: +62 87897468777

  • Email: redaksi.menitini@gmail.com
  • redaksi@menitini.com

Member of Serikat Media Siber Indonesia Provinsi Bali

Menitini.com adalah portal berita yang menyajikan informasi terkini seputar Bali dan Indonesia. Kami menghadirkan berita-berita Lingkungan, Pariwisata, nasional, politik, ekonomi, olahraga, pariwisata, hingga isu lokal Bali secara cepat, akurat, secara elegan, berimbang dan antihoax. 

Alamat Redaksi:

Jalan Gatot Subroto 2 No. 11A Denpasar, Bali

Telepon: +62 87897468777

  • Email: redaksi.menitini@gmail.com
  • redaksi@menitini.com

Member of Serikat Media Siber Indonesia Provinsi Bali