TOKYO, Delapan dekade setelah dua bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, para penyintas yang masih hidup (dikenal sebagai hibakusha), mulai berbagi kembali pengalaman kelam mereka. Pemerintah Jepang pun menggalang kesaksian nasional, upaya besar pertama dalam 30 tahun terakhir untuk mendokumentasikan tragedi kemanusiaan yang mengubah sejarah dunia.
Menurut laporan Jiji Press, Senin (28/4), Kementerian Kesejahteraan Jepang bulan ini meluncurkan kampanye berskala nasional untuk mengumpulkan kesaksian dari sekitar 106.000 hibakusha yang masih hidup. Upaya ini dilakukan menjelang peringatan 80 tahun serangan bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat pada Agustus 1945.
“Waktu semakin sempit. Suara para penyintas adalah warisan hidup yang harus dijaga sebelum benar-benar hilang,” ujar seorang pejabat kementerian.
Pemerintah daerah mulai mendistribusikan selebaran dan formulir kepada para penyintas, meminta mereka untuk mencatat pengalaman pribadi mereka ketika bom menghantam tanah kelahirannya. Selain itu, potret para penyintas yang telah wafat, pakaian yang terkena ledakan, dan dokumentasi foto peristiwa juga dikumpulkan untuk arsip nasional.
Semua materi berharga tersebut akan disimpan di Balai Peringatan Perdamaian Nasional untuk Korban Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki, sebagian di antaranya akan dipamerkan ke publik dengan persetujuan pihak keluarga.
Pengumpulan kesaksian skala besar terakhir dilakukan pada 1995, ketika jumlah hibakusha masih mencapai sekitar 320.000 orang. Setelahnya, pengumpulan dilakukan terbatas pada tahun 2005 dan 2015.
Sejarah mencatat, pada 6 Agustus 1945, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, menewaskan sekitar 140.000 jiwa. Tiga hari kemudian, Nagasaki menjadi sasaran berikutnya, menyebabkan 70.000 korban jiwa tambahan. Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, menandai berakhirnya Perang Dunia II.
Sementara itu, organisasi hibakusha Nihon Hidankyo—yang tahun lalu meraih Hadiah Nobel Perdamaian—kembali mendesak pemerintah Jepang untuk mengambil sikap lebih tegas terhadap isu pelucutan senjata nuklir. Mereka meminta Jepang hadir sebagai pengamat dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) pada Maret lalu di New York.
Namun, Jepang memilih absen, sebuah keputusan yang menuai kritik dari kalangan penyintas dan pegiat perdamaian.
“Kesaksian kami bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga peringatan untuk masa depan,” ungkap seorang penyintas Hiroshima berusia 91 tahun, yang kini menjadi sukarelawan edukasi di museum perdamaian.
Peringatan 80 tahun ini tidak sekadar menjadi refleksi tragedi masa lalu, tetapi juga pengingat mendesak bagi dunia agar tidak mengulang sejarah kelam yang sama.*
- Editor: Daton