JAKARTA,MENITINI.COM-Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang dunia perdagangan global dengan kebijakan tarif yang agresif. Dalam pernyataannya, Trump memastikan tidak akan ada perpanjangan tarif khusus yang saat ini dinikmati sejumlah negara. Sebagai gantinya, mulai Agustus 2025, akan diberlakukan tarif baru yang dinilai bisa memperburuk tensi ekonomi global.
Trump menetapkan tarif impor tembaga sebesar 50%, serta mengancam akan mengenakan tarif hingga 200% terhadap produk farmasi jika perusahaan farmasi global tidak memindahkan produksinya ke AS dalam waktu satu tahun. Tak hanya itu, India dan Indonesia menjadi sasaran tambahan dengan tarif 10%, karena keduanya dianggap semakin dekat dengan blok ekonomi BRICS.
Ketegangan juga meningkat antara AS dan Uni Eropa, menyusul perselisihan atas pajak dan denda yang dikenakan terhadap raksasa teknologi asal Amerika.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menilai langkah ini telah memicu lonjakan harga tembaga dan gejolak di pasar keuangan. “Saham sektor farmasi sempat tertekan karena kekhawatiran akan beban pajak baru. Ini menambah ketidakpastian perdagangan global,” ujarnya.
Menurut Fahmi, AS saat ini hanya berhasil menjalin kesepakatan dagang dengan Inggris dan Vietnam, serta kesepakatan terbatas dengan China. Negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia disebut telah menerima pemberitahuan tarif sebesar 25% hingga 40%, dengan potensi kenaikan jika melakukan aksi balasan.
Kebijakan ini berisiko memicu ketidakstabilan global, memperbesar ancaman stagflasi dan inflasi akibat naiknya harga barang impor. Namun di tengah ketidakpastian tersebut, aset kripto seperti Bitcoin dinilai justru mendapat angin segar.
“Bagi investor kripto, ketidakpastian global ini justru memperkuat daya tarik Bitcoin sebagai aset lindung nilai terhadap pelemahan mata uang fiat dan volatilitas pasar saham,” kata Fahmi.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa volatilitas jangka pendek tetap akan terjadi, seiring respons pasar terhadap kebijakan yang terus berubah.
Data on-chain terbaru menunjukkan bahwa rasio outflow/inflow Bitcoin bulanan menurun ke 0,9 — level terendah sejak akhir bear market 2022. Menurut Fahmi, hal ini menandakan tren akumulasi jangka panjang masih kuat.
“Menariknya, kami juga mencatat pergerakan lebih dari 19.400 Bitcoin dari wallet lama (3–7 tahun) ke wallet institusional. Ini menandakan penempatan strategis oleh pelaku institusi,” jelas Fahmi, mengutip data dari CryptoQuant.
Ia menambahkan bahwa kombinasi dari rendahnya rasio inflow/outflow serta akumulasi institusional tersebut bisa menjadi sinyal bahwa harga saat ini ($100.000–$110.000) merupakan fondasi bagi potensi reli berikutnya.
Fahmi juga menyarankan investor untuk mempertimbangkan strategi dollar-cost averaging (DCA), yakni membeli aset secara bertahap, guna mengurangi risiko volatilitas. “Di tengah kondisi ini, fitur seperti Packs di Reku bisa dimanfaatkan untuk diversifikasi aset kripto secara praktis, termasuk Bitcoin, Ethereum, dan Solana. Sistem rebalancing otomatis juga membantu menyesuaikan alokasi investasi dengan kondisi pasar,” tambahnya.*
- Editor: Daton
