DENPASAR,MENITINI.COM-Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Bali Darurat Sampah’ yang digelar Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS) di Denpasar, Kamis (16/3/2023), pakar kelautan dari Universitas Udayana, Dr. I Gede Hendrawan, PhD mengatakan, tidak berlebihan kalau saat ini Bali dikatakan darurat sampah, karena berbagai hasil riset dan fakta lapangan menunjukan trend seperti itu.
Dia mengungkapkan, dalam riset tahun 2019 yang dilakukan lembaganya Centre of Remote Sensing and Ocean Sciences, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana bekerjasama dengan lembaga dari Norwegia, terungkap volume sampah di Bali mencapai 4.200 ton per hari, dimana 70 persen di antaranya diproduksi di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan).
Dia mengungkapkan, dari sekitar 4.200 ton sampah baik organik maupun anorganik, yang berhasil dikelola hanya sekitar 48 persen. Bisa dibayangkan sampah-sampah yang tak dikelola itu menyebar di berbagai tempat yang menimbulkan berbagai kerusakan ekologis, social bahkan ekonomi. Celakanya, dari jumlah sampah yang tidak dikelola itu, 11 persen diantaranya terbuang ke air baik di sungai, danau yang kemudian mengalir ke laut lepas dan sebagian diantaranya terdeposisi ke pantai, seperti fenomena sampah di Pantai Kuta.
Khusus mengenai Pantai Kuta, kata dosen Pascasarjana/Doktor Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana ini, jangan dikira sampah yang ‘parkir’ di Pantai Kuta hanya terjadi secara musiman. Tetapi itu merupakan akumulasi dari kondisi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelumnya yang muncul pada musim puncak atau peak. “Memang sebagian besar sampah di Kuta itu berasal dari Bali sendiri, tetapi ada juga yang dari Jawa Timur khususnya Banyuwangi. Bahkan ada yang berasal dari Samudra Hindia,” ujar Dr. Hendrawan.
Dia lantas me-review hasil penelitiannya bersama tim yang dilakukan pada tahun 2014 tentang jenis dan sumber sampah di Pantai Kuta. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi jenis sampah yang terdampar atau terdeposisi di sepanjang pantai. Survei dilakukan dengan metode transek yang dikembangkan oleh National Marine Debris Monitoring Program (NMDMP). Para peneliti ini mengamati sampah yang berukuran besar (macro debris), ukuran lebih dari 2,5 cm.
Hasil survei menunjukkan sebagian besar sampah di pesisir Bali dalam hal ini di Pantai Kuta adalah sampah plastik dan sumbernya dari daratan. Sampah yang dibuang sembarangan. Hasil survei memperlihatkan sampah yang terdeposisi di Pantai Kuta didominasi 75 persen sampah plastik, dengan konsentrasi rata-rata sampah sebesar 0,25/meter persegi. Tim ini juga melakukan klasifikasi sumber sampah dengan metode yang dikembangkan oleh Ocean Conservancy.
Dr. Hendrawan merinci, dari jenis sampah yang telah diperoleh dapat diklasifikasikan bahwa sumber sampah yang terdapat di Pantai Kuta berasal dari tiga sumber. “Yakni aktivitas di darat mencapai sekitar 52 persen, aktivitas laut sekitar 14 persen, dan aktivitas secara umum baik darat maupun laut sebesar 34 persen,” ujar dosen senior ini saat mengelaborasi hasil penelitiannya di Kuta.
Kabar menariknya, kendati Pantai Kuta dicemari sampah, namun dia menegaskan bahwa laut Pantai Kuta masih layak untuk dijadikan tempat berenang. “Kecuali kalau air laut di Pantai Kuta diminum, itu tidak saya rekomendasikan,” selorohnya.
Pernyataan ini untuk menjawab pertanyaan peserta FGD tentang sinyalemen dalam pemberitaan Majalah TIME beberapa tahun lalu yang pernah menghebohkan Indonesia, khususnya Bali. Sebab dalam reportase Andrew Marshall di majalan TIME yang bertajuk cukup provokatif ‘Holiday in Hell : Bali’s Ongoing Woes’ itu disebutkan bahwa berenang di Pantai Kuta berbahaya bagi yang berkulit sensitif karena perairannya telah dicemari bakteri dan plankton yang membusuk. “Dimana-mana ada bakteri, termasuk di ruangan kita ini. Tetapi membahayakan atau tidak ya belum tentu,” tandas Dr. Hendrawan.
Kembali ke soal penanganan sampah, dia menegaskan bahwa boleh saja melalui pendekatan teknologi, tetapi itu saja tidak cukup. Pengoperasiannya perlu dikuasai oleh SDM kita, sehingga kehadiran mesin atau alat pengelola sampah berdaya guna dan berfungsi secara sustainable (berkelanjutan). Jangan sampai hanya gagah-gagahan membeli mesin sampah dari luar negeri, namun setelah diaplikasikan di sini malah cepat rusak dan nirfungsi.
Terkait hal ini, narasumber lainnya, Ketua APSI Putu Ivan Yunatana menambahkan, keberadaan mesin pengolah sampah memang harus disesuaikan dengan karakter sampah di tempat pengoprasiannya. Dia mengambil contoh di Bali. Di Bali banyak sampah organik yang dipakai untuk upacara budaya dan agama. Tetapi di dalam sampah itu mengandung besi staples yang cukup banyak. Kalau mesin pengolah sampah tidak diatur saat mengolah sampah jenis ini, bisa jebol.
Untuk itu, perlu riset mendalam sebelum mendatangkan mesin pengolah sampah agar sesuai dengan karakter sampah yang ada. Dia mengambil contoh inovasi mesin pengolah sampah di TOSS Center Klungkung dimana dia sendiri ikut terlibat melalui PT Cahaya Terang Bumi Lestari (CTBL). Mesin karya anak bangsa ini cukup mumpuni dan sudah teruji di di TPA Jabon Sidoarjo, Jawa Timur.
Inovasi mesin pengolah sampah di TOSS Center Klungkung ini sempat mendapat apresiasi dari Menteri KLH Siti Nurbaya. Dia mendorong mesin ini bisa menjadi role model pengelolaan sampah secara nasional. Penempatan mesin sampah di TOSS Center Klungkung memang berbeda dengan daerah lainnya. Menteri Siti tertarik karena di TOSS Center memiliki layout lokasinya berbeda dengan daerah lain. Juga ada ruang edukasinya, inovasi, model-model dan mesinnya diproduksi secara lokal.
Baik I Gede Hendrawan maupun Putu Ivan Yunatana sepakat bahwa problema persampahan itu tidak sederhana, karena itu untuk mengatasinya juga tak bisa dengan cara-cara biasa. Perlu ada langkah extra ordinary yang melibatkan sebanyak mungkin pihak, baik produsen, masyarakat, pelaku daur ulang maupun pemerintah. Perlu kerja kolaboratif dan kesungguhan untuk mengatasi persoalan sampah. Tanpa itu, masalah sampah akan terus merongrong citra Bali sebagai destinasi pariwisata. Jangan tunggu reportase media internasional seperti TIME baru kita take action. (M-011)
- Editor: PIY