Oleh: Drs. Suminto, MM *)
Cara cerdas untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak daerah, khususnya dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah dengan menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kenaikan NJOP akan meningkatkan nilai aset pemilik tanah dan bangunan. Di atas kertas, kekayaan mereka akan bertambah. Konsekuensinya, rakyat harus membayar PBB lebih mahal seiring dengan kenaikan NJOP.
Kenaikan aset berupa tanah dan bangunan jika tidak dibarengi dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk, justru akan menambah beban pengeluaran dalam bentuk pajak. Pada posisi ini, masyarakat tidak serta merta akan meningkat kesejahteraannya saat nilai asetnya naik, kecuali jika aset tersebut dijual.

Pertanyaannya, haruskah kesejahteraan rakyat diraih dengan menjual aset berupa tanah dan bangunan? Kenaikan NJOP bisa menjadi stimulus bagi rakyat untuk menjual aset. Jika tidak dijual, aset tersebut justru akan menjadi beban. Saat aset dijual, jebakan kedua muncul. Dengan meningkatnya NJOP, maka Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga ikut naik. Jadi seperti buah simalakama: aset berupa tanah dan bangunan jika dipertahankan akan membebani keuangan keluarga dengan naiknya nilai PBB, tetapi jika dijual rakyat akan tetap mendapat beban tambahan, yaitu meningkatnya BPHTB.
Dalam hal kenaikan NJOP, pemerintah daerah banyak mendapatkan keuntungan. Tidak saja dari PBB dan BPHTB, tetapi juga dari valuasi aset daerah yang meningkat nilainya sehingga memperkuat neraca keuangan pemerintah daerah. Hal ini bisa menjadi indikator perkembangan daerah yang dampak ikutannya dapat menarik investasi.
Namun demikian, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan untuk bisa menaikkan NJOP beserta dampak positifnya. Tantangan itu antara lain perlunya penyediaan data yang valid di bidang pertanahan agar tidak menimbulkan potensi konflik dengan masyarakat. Sengketa tanah akibat lemahnya data akan menurunkan kredibilitas pemerintah daerah di mata rakyat. Demikian juga dengan penyediaan fasilitas umum akan mengalami kesulitan, karena lahan-lahan yang dibutuhkan sudah memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga dalam proses pembebasannya dibutuhkan anggaran besar.
Kemungkinan lain yang muncul akibat meningkatnya PBB adalah penolakan dari masyarakat yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik di daerah. Akhir-akhir ini kita melihat penolakan kenaikan PBB di beberapa daerah, seperti di Pati (Jawa Tengah), Banyuwangi (Jawa Timur), Cirebon (Jawa Barat), dan lain-lain. Di wilayah lain tidak diharapkan hal semacam itu terjadi. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang matang dan konsultasi publik dengan seluruh pemangku kepentingan.
Sebenarnya, apakah kenaikan NJOP benar-benar merugikan masyarakat? Kerugiannya telah disampaikan di atas, yaitu beban pembayaran PBB meningkat dan BPHTB juga naik jika tanah dan bangunan dijual. Namun hal itu lumrah terjadi karena sesungguhnya masyarakat juga diuntungkan dengan kenaikan NJOP. Keuntungan bagi masyarakat adalah nilai aset meningkat dan dapat dibuktikan ketika tanah dan bangunan dijual, harga jualnya ikut naik. Dengan kenaikan nilai jual, daerah mengalami perkembangan, dan jika ditopang dengan kemampuan fiskal yang baik, akan tumbuh pusat-pusat perekonomian baru yang membuka peluang kerja dan usaha.
Keuntungan lainnya, ketika PAD meningkat, akan berbanding lurus dengan peningkatan pelayanan publik. Hal itu dapat terwujud jika integritas pemerintah daerah terjaga dan jauh dari praktik koruptif. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah menjadi kunci tercapainya kesejahteraan rakyat saat NJOP dinaikkan.
*) Penulis adalah Akademisi di PPU/IKN – Kaltim