INSTANBUL,Hamas menyatakan bersedia melepas kendali atas pemerintahan Jalur Gaza, namun menegaskan tetap menjadi bagian penting dari rakyat Palestina.
“Kami siap tidak memerintah Gaza, kami tidak keberatan,” ujar pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, dalam wawancara dengan CNN, Jumat (26/9). Ia menekankan bahwa eksistensi Hamas dalam struktur rakyat Palestina tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Sejak mengambil alih Gaza dari Otoritas Palestina (PA) yang dipimpin Fatah pada 14 Juni 2007, Hamas telah memerintah hingga pecahnya perang Gaza pada Oktober 2023.
Pernyataan ini muncul setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengajukan rencana 21 poin dalam Sidang Umum PBB ke-80 di New York. Rencana tersebut disebut sebagai skema pasca-perang Gaza, yang antara lain berisi pembentukan pemerintahan Gaza tanpa Hamas, pembentukan pasukan keamanan gabungan Palestina-Arab, serta pendanaan rekonstruksi dari negara-negara Arab-Muslim dengan peran terbatas PA. Trump dikabarkan mendesak para pemimpin Arab untuk mendukung gagasannya.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan tujuan perang tetap sama: membebaskan seluruh sandera, menghancurkan kekuatan militer dan pemerintahan Hamas, serta memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman.
Di sisi lain, Hamad mengaku selamat dari serangan udara Israel di Qatar yang menurutnya “suatu keajaiban”, karena rudal menghantam tak jauh dari lokasi mereka. Ia menuduh Israel sengaja menargetkan pihak-pihak yang terlibat dalam proses negosiasi.
Pada 9 September lalu, Israel membom rombongan pimpinan Hamas di Doha. Delegasi yang dipimpin Khalil al-Hayya selamat, namun kepala stafnya Jihad Lebed, putra al-Hayya bernama Hammam, serta tiga ajudan dilaporkan tewas.
Mengenai proposal AS yang meminta Hamas membebaskan semua sandera, Hamad mengatakan pihaknya siap melakukan pertukaran menyeluruh yang bisa membebaskan semua sandera dalam 24 jam. Namun, ia menuding Israel menolak kesepakatan tersebut.
Hamas juga membantah tuduhan bahwa mereka menjadikan sandera sebagai tameng manusia. Brigade Qassam, sayap militer Hamas, justru memperingatkan bahwa operasi darat Israel memperbesar risiko keselamatan para sandera.
Data otoritas Israel menyebut masih ada 48 sandera di Gaza, sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup. Sementara lebih dari 11.100 warga Palestina ditahan di penjara Israel, dengan laporan kelompok HAM yang menyebut mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, dan minim perawatan medis.
Sejak perang pecah Oktober 2023, lebih dari 65.500 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, dilaporkan tewas akibat serangan Israel di Gaza.*
- Editor: Daton