Minggu, 8 Desember, 2024

Garda The Musical Karya Eko Pece dan ISI Surakarta Berhasil Tunjukkan Kekayaan Nusantara

Garda The Musical Karya Eko Pece dan ISI Surakarta Berhasil Tunjukkan Kekayaan Nusantara.
Garda The Musical Karya Eko Pece dan ISI Surakarta Berhasil Tunjukkan Kekayaan Nusantara. (Foto: Istimewa)

SOLO,MENITINI.COM-Peringatan Hari Tari Dunia, ISI Surakarta kembali menggelar 24 Jam Menari pada pasda Sabtu (29/4/2023).

Salah satu agenda peringatan Hari Tari Dunia itu adalah pertunjukan “Garda The Musical” karya Eko Supriyanto alias Eko Pece dan Mahasiswa ISI Surakarta.

Drama musikal itu dimeriahkan oleh sederet bintang ternama seperti Widi Mulya yang berperas sebagai Rerasi, Dwi Sasono sebagai Garda, Beyon Destiano sebagai Rako serta Woro Mustiko yang memerankan Jenar.

“Garda The Musical” menceritakan tentang petualangan seorang anak burung kenari bernama Jenar yang terobsesi menjadi seorang Garda, burung Garuda yang tangguh, kuat dan bijaksana.

Garda memiliki pusaka Cahaya Delima yang membuat Jenar ingin mencarinya. Perjalanan mencari Cahaya Delima ternyata berbahaya.

Tekad dan keberanian Jenar tidak cukup untuk melawan Bargota dan pasukannya yang jahat. Mereka juga ingin memiliki Cahaya Delima untuk memperoleh kekuatan tak tertandingi.

Jenar yang sedang dalam perjalanan mencari pusaka itu pun ditangkap oleh Bargota. Sang ibu, Rerasi, berusaha mencari keberadaan Jenar diluasnya dunia.

Rerasi meminta bantuan kepada Garda untuk dapat menyelamatkan Jenar dan mengalahkan Bargota.

Sang Sutradara, Eko Pece kepada SOCLyfe bercerita dalam pertunjukkan itu, ada pesan yang ingin disampaikan kepada kaum muda dalam mengejar cita-citanya.

“Dengan cerita tadi akhirnya ketemu dengan Garda, akhirnya kayak ngomongin Cahaya Delima itu bukan pusaka, bukan harta karun, bukan things tapi knowledge ilmu pengetahuan yang harus dicapai dengan sungguh-sungguh dan memang waktunya juga panjang, tidak bisa instan,” jelas Eko ditemui usai pertunjukkan.

BACA JUGA:  Fakultas Ilmu Budaya Unud akan Gelar The Japan Festival of Udayana

“Garda The Musical” mengambil tema dunia burung di Indonesia. Ada berbagai macam burung asli Nusantara yang ditokohkan seperti burung kenari, merak, gagak, kedanti, beo, burung hantu dan enggang.

Bukan tanpa arti, Eko ingin menunjukkan keanekaragaman hayati Indonesia yang tak hanya soal budaya, tradisi, kekayaan alam dan flora saja, tapi unggas yang cantik dan beragam.

Eko mengatakan inspirasi konsep “Garda The Musical” datang dari kegemarannya menonton film kartun dan fantasi. Pria yang juga terlibat dalam Julie Timer dan Lion King Musical itu akhirnya memiliki ide untuk membuat drama musikal dengan cerita yang original.

“Karena saya lumayan exicted dan nerveous karena pengalaman temanteman membuat musikal itu lebih kepada mengadaptasi cerita cerita lama, wayang atau legenda yang sudah ada, kepikiran pengen membuat sesuatu yang original yang baru, yang tidak mengadaptasi mana pun,” cerita Eko.

“Saya ketemu temen bilang kenapa kita tidak bicara burung burung nusantara? Wastra nusantara sudah, bunga sudah, burung banyak lho kita di nusantara, banyak nama-namanya dan banyak jenisnya,” lanjutnya.

“Garda The Musical” pun dikemas dengan apik. Dengan kostum yang detail dan indah, para cast yang berbakat disatukan dengan seluruh ragam tradisi yang ada di Indonesia.

BACA JUGA:   Ribuan Seniman Meriahkan Pawai Budaya "Jana Kerthi Paramaguna Wikrame" di Jembrana

Sepanjang pertunjukkan akan disuguhkan bahasa, nyanyian dan tarian khas daerah seperti Aceh, Minang, Sunda, Jawa, Bali hingga Maluku Utara.

“Banyuwangen, Jawa, bahasa ngapak Cilacap Banyumasan, Maluku Utara, Indonesia Timur, ya saya pikir karena kita sangat beragam kenapa tidak kita jadikan konten yang memang menguatkan dan menjadi keunikan yang kita sajikan,” urainya.

Kejutan demi kejutan disajikan pada setiap babak drama musikal itu. Decak kagum pun datang dari penonton yang terkejut dengan kemasan pencampuran tradisi yang berjalan lembut.

“Termasuk tibatiba ada Randai ketemu dengan hiphop, Randai ketemu dengan Sedati tambah dengan saman tiba-tiba tarian Kecak. Ya itu yang kita miliki,” ujar Eko.

Ditulis oleh Hanindawan, cerita Garda ini dibawakan oleh 50 pemeran yang berasal dari kalangan seniman, mahasiswa ISI Surakarta dari Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain.

Total lebih dari 100 pelaku ekonomi kreatif yang menggarap karya musikal ini mulai dari kostum, set panggung, hingga koreografi.

“Kita audisi 190 orang tapi yang lolos ada 50 cast dari macam-macam jurusan,” jelasnya.

Hal yang lebih mencengangkan, waktu pemikiran konsep hingga eksekusi dilakukan dalam waktu tiga minggu.

Semua pihak yang terlibat dalam “Garda The Musical” all out untuk mempersembahkan yang terbaik.

BACA JUGA:  Berpacu Dilumpur, Makepung Lampit 2024 Digelar

Apresiasi juga datang dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang sempat melihat beberapa potong adegan “Garda The Musical” di Teater Besar ISI Surakarta.

“Mas Menteri tadi tu kita spill 2 adegan pas Mas Menteri dateng, terus bilang ‘mas this is so broadway even beyond broadway’ and i said ‘yes mas, and even this broadway is not about world, it’s about Indonesia because the uniqueness of Nusantara within our tradition’,” ucap Eko.

Dia berharap pemerintah memberikan perhatian pada seniman untuk dapat mengenalkan tradisi dan kekayaan Nusantara dalam kemasan yang lebih terkini.

“Harapannya bisa tur di Indonesia. Harapan saya pemerintah termasuk Kemenpar, pak Jokowi bisa paham bahwa kalau kita paham cara mengemasnya kita tidak bicara ini merusak tradisi, tapi tradisi bisa kita sandingkan kok,” harapnya.

“Srandai itu upacara panen padi, atau perayaan panen padi  setelah srandai tarian piring di Minang. Nah kita substansinya adalah perayaan lalu perayaan itu kita hubungkan dengan sedati yang juga perayaan umat manusia dengan Tuhan kenapa gak bisa kita hubungkan dengan itu. Tinggal konteks performatifnya saja supaya tidak menjadi tabu tapi menjadi ruang untuj diskusi untuk menyatukan keberagaman konteks kultur kita,” tandasnya. (rls)

  • Editor: Daton