JAKARTA,MENITINI.COM-Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh menegaskan perlunya langkah nyata dan sinergi lintas sektor untuk mempercepat eliminasi penyakit Tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan usai rapat Panitia Kerja (Panja) Percepatan Eliminasi TBC yang digelar bersama organisasi profesi, lembaga masyarakat sipil, serta kementerian terkait di Gedung DPR RI, Senin (14/7).
Dalam rapat tersebut, Nihayatul menyuarakan keprihatinannya atas fakta bahwa Indonesia kini menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC, hanya berada di bawah India.
“Kita ini sudah naik dari peringkat ke-5 ke peringkat ke-2. Satu langkah lagi bisa jadi peringkat pertama. Ini sangat mengkhawatirkan dan perlu diwaspadai bersama,” ujar politisi dari Fraksi PKB tersebut.
Ia menjelaskan bahwa rendahnya kesadaran masyarakat akan sifat menular TBC menjadi tantangan besar. Di sisi lain, keterbatasan alat diagnosis seperti Tes Cepat Molekuler (TCM) yang belum merata juga memperlambat deteksi dini.
“TCM bisa mendeteksi TBC secara cepat lewat air liur. Tapi alatnya belum tersedia di banyak daerah. Ini harus segera dibenahi,” ungkapnya.
Nihayatul juga menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap impor obat TBC. Padahal, pengobatan TBC memerlukan kedisiplinan tinggi dengan konsumsi obat secara rutin selama sedikitnya enam bulan.
“Tanpa supervisi dari puskesmas atau petugas, banyak pasien tidak konsisten minum obat. Padahal ini krusial untuk kesembuhan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti tantangan geografis Indonesia, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), yang membuat proses diagnosis memakan waktu lama karena keterbatasan laboratorium lokal. Akibatnya, penyebaran penyakit bisa semakin meluas.
Kekurangan tenaga medis spesialis seperti dokter paru dan penyakit dalam juga memperparah situasi. Bahkan di kota besar, distribusi obat masih kerap tersendat.
“Transportasi dan logistik di negara kepulauan seperti Indonesia ini jadi tantangan serius. Belum lagi di banyak daerah, masyarakat masih menganggap TBC hanya batuk biasa,” imbuhnya.
Agar eliminasi TBC bisa menjadi prioritas nasional, Nihayatul menekankan pentingnya peningkatan alokasi anggaran dan edukasi publik mengenai lingkungan sehat.
“Perlu ada perubahan pola pikir masyarakat soal hidup sehat. Ini bagian dari pencegahan juga,” katanya.
Sebagai langkah konkret, Panja akan merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan berbasis praktik baik. Nihayatul juga mengusulkan agar Peraturan Presiden Tahun 2021 yang menjadi dasar kebijakan penanggulangan TBC dievaluasi ulang karena dianggap sudah tak relevan dengan kondisi saat ini.
“Ini yang akan kami kaji secara mendalam. Di akhir masa kerja Panja, kami akan ajukan rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran,” tutupnya. (Sumber: Parlementaria)
- Editor: Daton