JAKARTA,MENITINI.COM-Krisis iklim semakin nyata dirasakan. Peningkatan polusi dan suhu panas yang tak terhindarkan membuat orang muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia, bersuara lantang mendesak adanya langkah konkret untuk menyelamatkan bumi.
Koordinator Climate Rangers (CR), Ginanjar Ariyasuta, menegaskan generasi saat ini hidup di bumi yang sudah jauh lebih panas dibandingkan masa orang tua mereka.
“Kualitas bumi yang kita tinggali sekarang sudah berbeda dari yang ditinggali generasi orang tua kita. Kita hidup di bumi yang panasnya sudah naik lebih dari satu derajat Celcius. Dan, kita punya tanggung jawab untuk mencegah agar kenaikan itu tidak terulang, agar generasi berikutnya tidak menghirup udara yang kotor akibat pembangunan yang ekspansif dan eksploitatif,” ujarnya.
Kesadaran tersebut menjadi latar belakang penyelenggaraan Local Conference of Children and Youth Indonesia 2025 pada 25 Agustus lalu. Forum ini dihadiri perwakilan anak dan orang muda dari seluruh Indonesia, termasuk Gispa Ferdinanda (Research Manager Sa Perempuan Papua) dan Lungli Rewardny Supit (Ketua Forum Anak Sulawesi Utara) yang hadir sebagai delegasi termuda. Hasilnya, lahirlah National Children and Youth Statement 2025, deklarasi berisi tuntutan kepada pemerintah agar serius menangani krisis iklim.
“Kami tidak ingin hanya jadi stiker”
Lungli, siswa SMA berusia 16 tahun, menyoroti minimnya keterlibatan bermakna anak muda dalam proses pengambilan keputusan. “Wajah kami terpampang jelas di dalam ruangan itu, namun suara kami tidak pernah didengar dan direalisasikan. Tanda tangan kami ada pada berkas, tapi suara dan cita-cita kami tidak pernah masuk di dalam berkas itu,” tegasnya.
Meski sempat minder karena usianya, Lungli yakin bahwa sekecil apa pun suara generasi muda tetap penting. “Suara yang besar dimulai dari yang kecil. Suara aku yang kecil ini tetap dibutuhkan untuk menyuarakan yang lebih kecil lagi di belakangku,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Ginanjar yang menilai partisipasi orang muda masih sebatas simbolis. “Yang berbicara di panggung masih tetap generasi sebelumnya. Orang muda tidak mendapatkan porsi apa-apa, selain materi untuk post di media sosial,” katanya.
Sementara itu, Gispa menekankan pentingnya proaktif. “Kita harus mau jemput bola melibatkan diri dalam kegiatan berbau iklim. Selama ini keterlibatan orang muda hanya sebentuk tokenism, hanya datang, duduk, dan lihat. Tidak mendapatkan yang lebih,” ujarnya.
Tuntutan: Keadilan Iklim dan Energi Bersih
Deklarasi tersebut menegaskan perlunya kebijakan berkeadilan iklim, yakni aturan yang tidak hanya fokus pada penurunan emisi, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya pada kelompok rentan, termasuk disabilitas, nelayan, hingga masyarakat adat.
Gispa menilai pengesahan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat akan memberi legalitas bagi masyarakat Papua menjaga tanah, laut, dan hutannya. “Perjuangan keadilan iklim itu tidak bisa hanya bicara soal aksi. Harus bicara juga soal kebijakan,” katanya.
Orang muda juga mendorong percepatan transisi energi bersih. “Bukan saatnya lagi membangun PLTU baru. Kalau Vietnam bisa melampaui kita dalam energi terbarukan, seharusnya kita juga bisa,” tegas Ginanjar.
Gispa menambahkan, Papua memiliki potensi besar untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). “Ketika satu rumah sudah bisa mandiri dalam hal listrik, mereka tidak lagi bergantung pada PLN. Alokasi biaya untuk listrik bisa dipakai untuk hal lain,” ungkapnya.
Stop Danai Proyek Polusi
Para aktivis muda juga mengkritisi masih derasnya pendanaan pemerintah pada proyek berbasis batubara. Sebaliknya, mereka mendorong investasi ke energi terbarukan yang dikelola komunitas, seperti PLTS dan PLTMH. “Masyarakat bisa membangun ownership dari energi terbarukan. Energi tidak lagi dikuasai elite secara terpusat, tetapi dikelola masyarakat,” jelas Ginanjar.
Akses Solusi dari Anak Muda
Ginanjar menekankan perlunya jalur formal agar ide generasi muda bisa diimplementasikan, misalnya melalui Youth Climate Council. “Di sana orang muda diberi anggaran sepuluh persen untuk menentukan proyeknya. Jadi yang harus ada sebenarnya adalah jalurnya terlebih dahulu, bukan solusinya dahulu,” katanya.
Lungli sendiri menyoroti pembangunan di daerah pesisir yang merusak ekosistem laut. “Kenapa bukan hutannya dilestarikan untuk dijadikan tempat wisata? Kenapa laut harus digusur untuk membuat taman wisata yang indah? Banyak hal dari alam yang bisa kita manfaatkan dengan bijak untuk memajukan Indonesia, dengan tetap pro rakyat,” tuturnya.
Di sisi lain, pendidikan iklim disebut penting masuk ke kurikulum sekolah. Menurut Ginanjar, hal ini akan membentuk generasi yang lebih siap menghadapi tantangan krisis iklim. “Karena pikiran mereka terbuka soal masalah iklim, mereka akan terbentuk menjadi pemimpin yang mampu memikirkan solusi iklim,” pungkasnya.*
- Editor: Daton